BENANG KUSUT DUNIA PENDIDIKAN

  • Bagikan


Oleh: Husni Lallo
Guru SMK Negeri 2

Tinggal menghitung jari, perhelatan akbar keinginan Pemerintah tentang pelaksanaan Ujian Akhir Nasional ( UAN ) pada setiap jenjang pendidikan akan dilaksanakan. Kegiatan ini sebagai sarana penentu keberhasilan bagi siswa yang mengikuti ujian tersebut sekaligus sebagai barometer Pemerintah tentang posisi kualitas/mutu pendidikan di Indonesia. Berbagai upaya / persiapan tentunya sudah dilaksanakan oleh sekolah masing masing untuk memperebutkan predikat sebagai sekolah yang berhasil meluluskan anak didiknya 100 %. Yang menjadi pertanyaan, sudahkah rambu rambu pelaksanaan proses pendidikan yang dirumuskan Pemerintah dalam hal ini Depertemen Pendidikan telah dilaksanakan? Jika setiap sekolah menjawab “ ya “, lantas dimana letak kesalahan jika ternyata hasil UAN menunjukkan kualitas/mutu pendidikan masih rendah atau banyak siswa yang tidak lulus?

Jika kekhawatiran tersebut diatas terbukti, tentu pihak Depertemen Pendidikan cuci tangan dan menyalahkan pihak pengelola pendidikan dengan dalih sudah berbagai upaya telah dilakukan mulai dari gonta ganti kurikulum, alur kebijakan yang harus ditempuh ( sudah punya Standar Pendidikan Nasional ), pemberian bantuan operasional sekolah, pemberian tunjangan profesi guru untuk memperbaiki potensi dirinya sampai pada pergantian Menteri Pendidikan dengan harapan kualitas/mutu pendidikan dapat terdongkrak.

Sulit rasanya mengurai benang kusut pendidikan untuk mencari benang merahnya artinya menentukan biang keladi atau penyebab rendahnya kualitas/mutu pendidikan, tapi paling tidak harus dengan legowo setiap pelaku pendidikan untuk mau instrospeksi diri masing masing, mulai dari Departemen Pendidikan sampai pada siswa itu sendiri sebagai obyek pendidikan.

Para pakar pendidik telah memberikan berbagai argumentasi masing masing kearah perbaikan kualitas/mutu pendidikan, Prof. Dr. M. Fakry Gaffar misalnya mengatakan, universitas atau perguruan tinggi di Indonesia belum memiliki kemampuan untuk ”bertarung” dalam persaingan global. Karena itu, produk pendidikan negara ini masih kesulitan untuk bersaing dengan produk pendidikan negara lain. Namun, rendahnya kualitas itu tidak semata-mata karena sistem pendidikannya. Siswa atau mahasiswa Indonesia pun kurang memiliki upaya dan daya juang. ”Kalau ditanya berapa jam mahasiswa Indonesia belajar dalam satu hari, mereka akan menjawab antara 1- 2 jam/hari. Sedangkan di Eropa, Amerika atau Malaysia, rata-rata mahasiswanya belajar antara 6 - 12 jam/hari,” ujarnya. Menyimak pemikiran Prof diatas, dapat diindikasikan behwa salah satu penyebab rendahnya mutu/kualitas pendidikan adalah karena kurangnya waktu belajar siswa perhari jika dibandingkan dengan Negara lain. 1

Fakry melanjutkan, harus ada paradigma baru pendidikan Indonesia. Ia mengajukan 8 poin paradigma pendidikan yang baru yaitu, openess and flexibility in learning, integrasi pendidikan ke dalam setiap aspek kehidupan manusia, responsif terhadap perubahan, total learning, learning strategies, teacher-student roles in leraning, ICT (information and communication technology) in learning process serta learning content and learning outcome.

Delapan poin paradigma itu untuk mendasari agenda pendidikan di masa depan yaitu, pembahasan kurikulum, pembaruan dalam proses pembelajaran, pembenahan manajemen pendidikan nasional, pembenahan pengelolaan guru dan mencari serta mengembangkan berbagai sumber alternatif pembiayaan pendidikan. 2

Selama ini pemecahan masalah mutu pendidikan selalu ditangani secara makro, seperti memperbaiki kurikulum. Walaupun perbaikan kurikulum memang dibutuhkan, penyelesaian persoalan rendahnya mutu pendidikan harus dilakukan dengan pemberdayaan sekolah. Hal ini disampaikan Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Bidang Desentralisasi Pendidikan Ace Suryadi dalam lokakarya mengenai Pengembangan Pendidikan di Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam di Jakarta, Rabu (26/2). "Selama sekolah belum mampu mengelola proses belajar- mengajar dengan baik, maka mutu pendidikan akan tetap rendah," kata Ace. 3

Menurut dia, perbaikan mutu pendidikan tidak bisa diselesaikan secara makro. Persoalan peningkatan mutu harus diselesaikan di tingkat sekolah. Implikasinya, kesiapan guru mengajar, siswa untuk belajar, dan sekolah memfasilitasi proses pembelajaran di persekolahan harus diperhatikan. "Itulah sebabnya, fokus perbaikan mutu pendidikan saat ini dilakukan dengan memberikan pemberdayaan ke sekolah-sekolah," kata Ace. Tujuannya agar sekolah bisa mandiri mengelola proses belajar-mengajar di kelas. Dia menambahkan, pemerintah memberikan dana bantuan untuk perbaikan fisik sekolah, mendukung pembangunan perpustakaan. Bahkan, untuk penentuan buku yang dipakai, sekarang sekolah diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri buku yang dipakai. 4

Menurut Winarno, perbaikan mutu pendidikan harus didukung perubahan pola pikir guru. Kekurangan fasilitas dan anggaran sebenarnya masih bisa diatasi jika pola pikir guru penuh inisiatif dan ide kreatif. "Kecenderungan yang terjadi, guru tidak punya inisiatif dalam mendidik anak yang diamanahkan kepadanya," ujar Winarno. 5

Itulah sederet pendapat para pakar pendidik kita dan masih sederet pendapat lain yang semuanya mengarah kepada perbaikan kualitas/mutu pendidikan di Bumi Pertiwi ini. Disisi lain segudang peraturan yang menaungi dunia pendidikan, mulai dari UU, Pepres, PP & Permendiknas misalnya, UU No.20 th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 th. 2005 tentang Guru dan Dosen, Pepres No. 108 th. 2007 tentang Tunjangan Tenaga Kependidikan, PP No. 19 th. 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, PP No. 48 th. 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, PP No. 41 th.2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Permendiknas No. 39 th. 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan dan lain lain.

Semua payung hukum yang telah ada dan yang akan ada hanya ada satu harapan yaitu bagaimana supaya kualitas/mutu pendidikan di Bumi Pertiwi ini dapat mengangkat harkat dan martabat Bangsa ini dalam kanca pendidikan melalui pertarungan global. Jika dicermati setiap peraturan yang ada, memang tidak ada kata tidak dapat artinya apa yang diharapkan oleh pemerintah memang dapat dicapai, tetapi kalau itu hanya sebatas konsep atau peraturan tanpa disosialisasikan dan diawasi pelaksanaannya dengan baik pada tingkat satuan pendidikan maka itu baru dapat dikatakan mustahil harapan itu dapat dicapai.

Sedikit masukan buat Pemerintah sekaligus sebagai bahan pertimbangan penentuan kelulusan bahwa, Para guru bukannya tidak mengetahui risiko atas apa yang dilakukannya, seperti pembocoran kunci jawaban, menyebarkan kertas siluman kecil ketika ujian berlangsung dan lain lain bentuk pelanggaran yang dilakukan, semua itu karena nurani mereka berontak. Selama pelaksanaan ujian nasional, harus diam dan terus membodohi diri sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan atasan. Selain itu, ujian nasional telah merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Mereka yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kemudian pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus. Intervensi tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru dan hal tersebut termasuk pelanggaran HAM.

  • Bagikan

Exit mobile version