Politik Ukhuwah

  • Bagikan

LULUH lantaknya negeri timur tengah seperti Afganistan, Yaman dan Syiria akibat perang saudara sesama muslim sungguh merupakan tamparan besar bagi dunia Islam.

Bagaimana tidak, Islam yang diturunkan oleh Allah SWT melalui rasulnya Muhammad SAW sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin (rahmat untuk semua alam) ternyata diaplikasikan berbeda oleh mereka yang berada di negeri itu.

Mengapa sampai itu terjadi, padahal mereka yang saling berkirim rudal, bunuh membunuh, siksa menyiksa, bakar membakar adalah satu agama bahkan satu suku bangsa? Ternyata jawabannya adalah Perbedaan. Perbedaan  dijadikan dalil untuk menghilangkan nyawa manusia dan membuat kerusakan di muka bumi.

Dalam sebuah acara Ngaji Kebangsaan yang digelar Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama Kota Makassar (Kamis 30 Desember 2021), pembicara utama KH Zuhairi Misrawi atau Gus Mis, Intelektual Muda Nahdlatul Ulama yang juga Duta Besar RI untuk Tunisia menggambarkan begitu parahnya kondisi negara timur tengah. Jutaan manusia kehilangan nyawa, hancurnya gedung dan rumah-rumah warga, serta tidak ada lagi kenyamanan menjalankan ibadah.

Itu semua hanya karena perbedaan aliran politik dan sedikit berbeda dari sisi memahami syariat islam. Perbedaan itu lebih ditonjolkan sampai-sampai melupakan persamaan sebagai sesama muslim (Islamiyyah), sesama anak bangsa (Wathaniyah), dan sebagai sesama manusia (Insaniah/Basyariah).

Politik memang merupakan seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tapi apakah mesti sebegitu ngerinya seni politik itu dimainkan di sana hanya untuk sebuah dominasi dan kekuasaan. Sungguh sangat jauh dari nalar dan nilai-nilai agama Islam.

Hal demikian tentu menjadi pelajaran bagi umat muslim di dunia tak terkecuali Indonesia. Bibit-bibit peperangan jangan sampai terus dipupuk. Perlu upaya-upaya luar biasa dari segenap elemen masyarakat untuk komitmen dan konsisten menjaga Kebhinekaan sebagai simbol persatuan.

Sebenarnya Indonesia telah memiliki modal sosial dan pemikiran dari pendahulu terutama di kalangan ulama tradisional. KH. Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, telah mengajarkan umat bagaimana menjaga kestabilan politik dengan trilogi ukhuwah, yakni Ukhuwah Islamiyyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Insaniyah/Basyariah.

Ukhuwah Islamiyyah atau Persaudaraan Umat Islam menekankan akan pentingnya persatuan di antara umat islam. Meski dalam kelompok Islam ada sedikit perbedaan dari sisi furu’iyah atau khilafiyah, namun tak semestinya itu dibesar-besarkan sampai harus mengkafirkan dan menganggap paling benar sendiri. Parahnya lagi sampai menghalalkan darah saudaranya yang tidak sejalan.

Islam sejatinya harus saling merangkul bukan memukul. Karena dengan begitu sumbangsih Islam terhadap perdamaian dunia akan lebih terasa perannya.

Kemudian Ukhuwah Wathaniyah atau Persaudaraan Sesama Anak Bangsa. Pada konsep ini seseorang atau sekelompok masyarakat merasa bersaudara dan membina hubungan baik karena merupakan bagian dari satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.

Selanjutnya, Ukhuwah Basyariah atau Persaudaraan sesama manusia. Meskipun berbeda agama dan bangsa, namun seyogyanya harus disadari bahwa semua manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang maha esa. Sebagaimana pesan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang telah dijadikan rujukan dunia, “Sesungguhnya manusia itu ada dua tipe: Jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu dalam kemanusiaan.”

Trilogi ukhuwah di era milenial ini tentu masih sangat sangat diperlukan. Walau boleh dikata ancaman dan tantangannya tidaklah gampang. Salah satu ancaman serius adalah perkembangan teknologi terutama penggunaan gadget. Dapat disaksikan peran gadget ini perlahan mengikis kesadaran sosial baik yang tua lebih-lebih generasi muda. Hal tersebut dapat dilihat di hampir semua kehidupan bermasyarakat dan bermedia sosial. Fitnah, caci maki, hasutan, menyebar aib orang, serta tontonan yang tidak layak jadi tuntunan begitu liar meracuni mainset masyarakat.

Pemimpin pemerintahan hingga kelompok masyarakat terkecil tentu tidak boleh membiarkan hal itu bebas sebebas-bebasnya. Harus ada upaya konkret untuk mencontohkan dan mengkampanyekan trilogi ukhuwah ini agar bisa menjadi jimat penangkal desintegrasi bangsa Indonesia bahkan dunia.

Patutlah menjadi refleksi bagi kita seorang sosok ulama dan mantan presiden Indonesia KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (wafat 30 Desember 2009). Meminjam pandangan Buya Arrazi Hasyim dalam ceramahnya. “Kita pernah punya ulama sekaligus presiden namanya KH Abdurrahman Wahid. Apa karakter yang ada pada beliau, itu terjemahan dari kata Rahman. Beliau melindungi minoritas, sayang semua makhluk itulah makna Ar Rahman sayang kepada semua makhluknya tanpa terkecuali. (*)

Akbar Hadi (AHAD)

(Wakil Ketua GP Ansor Makassar / Ketua Harian KNPI Makassar)

  • Bagikan