Indikator lain untuk mengukur organisasi ini bisa dilihat tingkat kepuasan baik dari kader, alumni maupun masyarakat Sulsel secara keseluruhan. Soal kepuasan ini boleh jadi agar akurat pakai survey kuantitatif mengukurnya. Namun bukan berarti tidak bisa dilihat trennya. Antara lain dari aspek kepuasan warga, bisa dari tingkat kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap baik secara organisasi maupun orang per orang alumni HMI. Semakin besar dukungan, semakin besar tingkat kepuasan.
Untuk itu: pertanyaanya: berapa banyak alumni HMI yang dipercaya menduduki sejumlah jabatan strategis, baik di lembaga pendidikan atau politik pemerintahan. Ini yang relatif mudah mengukur. Meski boleh jadi ada alumni yang bergerak di sektor usaha atau lain sebagainya. Di politik, berapa banyak bupati atau walikota atau pimpinan dewan atau lembaga Pemda yang merupakan alumni HMI. Kalau masih bisa dihitung dengan jari, itu artinya, peran KAHMI dalam pengabdian masyarakat, ada dalam titik yang cukup kritis.
Mengenai kepuasan alumni, boleh jadi bersifat personal. Karena ada alumni yang terbantu karena faktor kesamaan/kedekatan organisasi. Misalnya mengurusi proyek atau jabatan tertentu baik di dunia politik atau usaha.
Jebakan Politik Picisan
Berbagai pertanyaan kritis itu tentu saja menyikapi kecenderungan KAHMI Sulsel yang terjadi belakangan ini. Yaitu organisasi yang berkembang terlalu politis dan bahkan terkesan kehilangan orientasi.
Sebuah ironi bila KAHMI Sulsel hanya dijadikan alat untuk mobilisasi kader atau masyarakat demi kepentingan politik sesaat seperti pemenangan calon di Pilkada atau Pemilu. Dengan dalih organisasi alumni terbesar di Sulsel, KAHMI dijual ke kandidat tertentu untuk menjadi mesin politik.
Lebih ironi lagi, bila upaya itu ternyata dilakukan secara bersama –sama dengan para junior HMI yang masih menjadi pengurus cabang. Atau bahkan hingga berebut bawa proposal ke pejabat daerah, demi sebuah program. Senior menjadi pelobi deal-deal dukungan politiknya, dan junior sebagai eksekutor mobilisasinya di akar rumput.