Komponen inflasi administered prices (AP) tecatat sebesar 0,38% (mtm), menurun dibanding bulan Desember 2021 sebesar 0,45% (mtm). Bahan Bakar Rumah Tangga (BBRT) menjadi komoditas dengan andil penyumbang tertinggi sebesar 0,06%. Peningkatan tersebut disebabkan karena adanya penyesuaian harga LPG nonsubsidi yang berkisar antara Rp1.600 s.d Rp2.600 per kilogram dan telah berlaku sejak 25 Desember 2021.
Selain BBRT, rokok kretek filter mencatatkan sumbangan terhadap inflasi Januari sebesar 0,01%. Kenaikan harga aneka jenis disebabkan naiknya tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang berlaku sejak 1 Januari 2022. Peningkatan inflasi AP masih tertahan oleh penurunan tarif angkutan udara sesuai dengan pola musimannya, dengan andil -0,03%.
Lebih lanjut, sebagai pembuka awal tahun, sinyal optimisme pemulihan ekonomi terus bertambah khususnya terlihat dari sektor manufaktur yang semakin menggeliat. Terbukti, pada Laporan Purchasing Managers’ Index (PMI) yang diterbitkan IHS Markit, output sektor manufaktur Indonesia kembali di posisi ekspansif sebesar 53,7 pada Januari 2022, lebih tinggi dari bulan Desember 2021 yang mencapai 53,5. Dengan demikian, sektor manufaktur melanjutkan level ekspansi selama lima bulan berturut-turut dan masih mengungguli beberapa negara ASEAN seperti Thailand (51,7), Filipina (50,0), dan Myanmar (48,5).
“Kinerja sektor manufaktur yang terus terekspansif perlu diapresiasi. Pemerintah juga akan terus bekerja keras menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga performa positif ini dapat terus ditingkatkan,” lanjut Menko Airlangga.
Prospek dan Risiko Ke Depan
“Dalam rangka menjaga tren pemulihan ekonomi nasional, Pemerintah akan terus mencermati berbagai risiko pencapaian inflasi tahun 2022, termasuk yang berasal dari imported inflation,” ungkap Menko Airlangga Hartarto.
Sebagaimana diketahui, sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dunia, permintaan yang tinggi telah mendorong naiknya harga-harga komoditas esensial dan berdampak terhadap kenaikan inflasi global. IMF dalam publikasi terbaru World Economic Forum, yang dirilis Januari 2022 juga menyampaikan bahwa kenaikan inflasi merupakan salah satu faktor risiko pemulihan ekonomi di tahun 2022. Berlanjutnya harga energi yang tinggi disertai gangguan rantai pasok telah mendorong peningkatkan inflasi, terutama di Amerika Serikat dan banyak negara Emerging Market and Developing Economies (EMDE). Amerika Serikat sendiri menutup tahun 2021 dengan tingkat inflasi menembus 7% dan merupakan tertinggi sejak Juni 1982.
“Pemerintah akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia maupun Pemerintah Daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah untuk memitigasi berbagai tantangan pencapaian inflasi tahun 2022 baik yang berasal dari global maupun domestik. Penguatan program kerja dan strategi kebijakan pengendalian inflasi di level daerah menjadi strategis dalam mendukung pencapaian inflasi nasional tetap terkendali di tengah risiko-risiko yang dihadapi,” ujar Menko Airlangga.
Dari sisi sektor riil, peningkatan demand global juga harus menjadi peluang yang bisa kita tangkap. Dengan output manufaktur Indonesia ke depan yang diperkirakan semakin bertumbuh, diharapkan prospek permintaan barang ekspor juga akan terus meningkat. Terlebih, IHS Markit mencatat bahwa pesanan barang ekspor Indonesia di Januari 2022 merupakan rekor kenaikan tertinggi jika dibandingkan dengan periode bulan Januari sejak survei PMI dijalankan.
“Untuk mengakselerasi kinerja ekspor dan memanfaatkan momentum yang ada, Pemerintah akan terus mendorong program hilirisasi komoditas unggulan, seperti CPO, nikel, bauksit, tembaga, hingga timah. Di samping itu, investasi pada industri 4.0 juga akan terus ditingkatkan sehingga produk-produk ekspor Indonesia ke depan semakin berdaya saing dan bernilai tambah tinggi,” pungkas Menko Airlangga. (*)