MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel terus mendorong penyelesaian suatu kasus tanpa harus sampai ke meja hijau atau yang lebih dikenal dengan sebutan Restorative Justice (RJ). Dimana sepanjang tahun 2021 ada sebanyak 24 kasus yang berhasil diselesaikan lewat jalur RJ.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Idil mengatakan, dari 24 kasus yang diselesaikan lewat jalur RJ itu didominasi oleh kasus penganiayaan.
“Penganiayaan yang paling banyak. Kalau tahun 2022 belum ada kita rekap berapa jumlahnya ,” kata Idil pada Harian Rakyat Sulsel, Rabu (9/2/2022).
Dalam penerapan RJ, Idil mengatakan tidak dilakukan sembarangan dan tidak semua kasus bisa di RJ. Sejumlah syarat harus dipenuhi salah satunya perkara dengan ancaman pidana dibawah 5 tahun.
“Kemudian mengganti kerugian misalkan kasus itu ada kerugian korban, itu juga harus diganti. Pada intinya ada perdamaian atara pelaku dan korban dan baru pertama kali melajukan perbuatan pidana,” terangnya.
Idil membeberkan, berdasarkan pedoman penerapan RJ, penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.
Termasuk juga kata Idil yang jadi pertimbangan adalah mengedepankan pemulihan keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
“Prinsip dasarnya adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan lainnya,” sebut dia.
Terpisah, Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir mengatakan, pada prinsipnya RJ sejauh ini terus didorong pihaknya dengan pertimbangan agar aparat penegak hukum bisa lebih fokus pada kasus kasus yang lebih besar.
“Tapi untuk kasus-kasus kecil yang memenuhi unsur. Supaya juga aparat penegak hukum tidak kebanjiran kasus. Termasuk mereka bisa lebih konsentrasi pada kasus besar. Mencari alat bukti yang baik dan menyelesaikan suatu perkara besar yang berkualitas. Yang penting itu seperti kasus korupsi atau pengedar narkoba dan lain-lain. Itu harusnya yang dituntut dan harusnya itu yang mendapat kontestasi penuh,” bebernya.
Pertimbangan lain menurut Haedir adalah mengurangi biaya yang dikeluarkan negara dalam mengurus kasus-kasus kecil yang dimaksudkan. Sepeti mencuri karena kelaparan dan lainnya.
“Pertimbangan lain adalah untuk mengurangi uang yang digunakan aparat penegak hukum dalam mengurus suatu perkara kecil. Contoh kasus ada pencurian dengan total kerugian korban dua juta, sementara biaya yang dipakai penegak hukum untuk mengurus perkara itu lima juta,” terangnya.
Namun dalam RJ ini, Haedir mengingatkan, agar sejumlah kasus yang dinilai tidak seharusnya di RJ tetap dilajutkan ke pengadilan. Salah satu kasus menurut dia adalah kasus kekerasan seksual juga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Kasus ini sebenarnya tidak bisa di RJ agat supaya ada efek jera bagi para pelaku. Ini juga yang keliru selama ini. Kami lihat ada beberapa kasus kekerasan seksual yang coba di RJ oleh aparat penegak hukum,” kuncinya.