PENULIS: SYAMSI NUR FADHILA
MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Tangisan bayi berusia tiga bulan memecah kesunyian sebuah rumah sederhana di Jalan Sunu III, Kota Makassar. Pada siang yang cukup terik itu, sang ibu terlihat cukup kerepotan menenangkan putri bungsunya yang sedang rewel.
Abdul Rahman, 33 tahun, pun dengan sigap mendekati sang istri dan mengambil alih si bayi ke pelukannya. Tak cukup waktu lama, si bayi terlelap. Ia kemudian dipindahkan ke dalam kamar, ditemani sang ibu.
Segala gerak gerik pasangan suami istri itu terlihat gesit. Mereka hafal betul setiap sudut rumah yang juga dijadikan kantor koperasi oleh rekan-rekan tunanetra itu.
Abdul Rahman dan istrinya, Martini (37) merupakan pasangan penyandang tunanetra. Cara mereka memperlakukan satu sama lain, tak jauh berbeda dengan pasangan suami istri lain pada umumnya.
Jelang 14 tahun sejak Rahman dan Martini mengikatkan tali cinta mereka dalam biduk perkawinan. Masa-masa indah itu masih melekat kuat di memori Rahman hingga detik ini.
Perkenalan keduanya bermula saat mereka duduk di bangku Sekolah Luar Biasa-A Yayasan Pembinaan Tunanetra Indonesia (SLB-A YAPTI) yang berlokasi di Jalan Kapten Pierre Tendean Blok M Nomor 7, Makassar.
Kala itu di tahun 2007, Rahman adalah siswa baru yang dibawa oleh kedua orangtuanya dari Kabupaten Gowa untuk bersekolah di sana, sementara Martini merupakan siswa lama.
Keakraban keduanya terjalin karena interaksi yang intens. Mereka kerap membicarakan berbagai hal. Selain itu, terlalu banyak kesamaan di antara mereka mungkin saja menjadi pertanda bahwa keduanya memang sudah ditakdirkan Tuhan untuk bersama.
Keduanya lahir di tanggal yang sama. Rahman lahir di Kabupaten Gowa, 31 Desember 1989, dan Martini lahir di Makassar pada 31 Desember 1985. Keduanya juga ternyata punya hobi yang serupa.
“Kami berdua punya kesamaan hobi. Sama-sama suka makan, dan kebetulan dia juga ternyata suka masak, jadinya makin akrab,” ucap Rahman.
Rahman sendiri tak menyangka bisa menikahi teman sekolahnya itu. Pernah suatu ketika, dia sedang berada di teras musala bersama Martini, tak lama kemudian, seorang guru menyapa mereka.
“Saat itu saya teriak ke guru, ‘Bu, nanti saya akan lamar ini!’ ternyata sekarang kejadian betulan,” kenang Rahman sembari terkekeh mengingat momen yang hingga kini masih tak disangka-sangkanya.
Sayangnya, hubungan pertemanan keduanya sempat terjeda karena Martini bertolak ke Bandung, Jawa Barat, untuk melanjutkan pendidikan keterampilan.
“Selama dia ke Bandung itu tidak ada komunikasi sama sekali. Mau bagaimana, ya, handphone juga waktu itu belum punya. Tapi untungnya dia di Bandung tidak lama, ketika kembali lagi ke sini, kami akrab lagi,” jelasnya.
Tibalah di medio tahun 2008, tepatnya pada bulan Juli. Rahman yang saat itu baru saja menyelesaikan pendidikan tingkat SMP, berniat melanjutkan ke jenjang SMA. Usianya waktu itu menginjak 18 tahun. Namun oleh orangtuanya, dia diminta untuk segera mengenalkan pujaan hati.
“Tanpa pikir panjang, saya kenalkan Martini ke orang tua saya, dan mereka langsung setuju. Hanya saja, Martini saat itu belum tahu bahwa saya mengenalkan dia ke orang tua sebagai calon istri,” katanya.
Setelah momen perkenalan itu, barulah ia dengan jujur menyampaikan maksud hatinya untuk meminang gadis asal Makassar itu.
“Jawaban Martini saat itu semua bergantung pada orangtuanya. Kalau saya serius, saya diminta untuk langsung menghadap ke orangtuanya, dan saya lakukan itu,” tutur pria yang hobi bermain catur ini.
Singkat cerita, Rahman bertemu orang tua Martini. Bermodalkan keyakinan dan kesungguhan hati, dia mengutarakan niat sucinya untuk melamar sang pujaan. Gayung bersambut, orang tua Martini setuju.
“Saat itu langsung ditodong dengan pertanyaan, ‘berapa uangmu nak?’ Saja jawab bahwa saya hanya punya uang sekian. Ternyata itu tidak dipermasalahkan. Bahkan diminta untuk menyegerakan pernikahan,” kenangnya.
Tepat pada tanggal 20 Juli 2008, pria ini resmi mempersunting tambatan hatinya.
Awal menikah keduanya tinggal bersama orang tua Martini. Namun sebulan kemudian, mereka memutuskan untuk hidup mandiri. Mereka sempat berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.
Selama itu pula, Rahman terus berupaya menjadi suami dan kepala keluarga yang bertanggung jawab. Dia pernah bekerja sebagai tukang pijat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kini, ia berjualan jagung marning keliling.
Keluarga kecilnya makin lengkap saat mereka dikaruniai dua putri cantik bernama Dinda Aisyah Tiara, yang lahir pada 8 Mei 2009, dan Nur Ma’wa, pada 31 Oktober 2021. Seperti orangtuanya, Dinda juga tunanetra. Dia kini bersekolah di tempat kedua orangtuanya menempuh pendidikan, di SLB-A YAPTI. Sementara Nur Ma’wa terlahir normal.
Bagi Rahman, kehadiran Martini di hidupnya menjadi pelengkap kesempurnaan. Sikap Martini yang penyayang, penyabar, dan tidak banyak menuntut menjadi hal yang amat disyukurinya.
Kendati sama-sama tak bisa melihat, justru menurutnya hal itu yang membuat mereka bisa saling mengerti satu sama lain dan saling membantu, bahkan, mereka bisa membuktikan bahwa mereka bisa menjalani rumah tangga dengan baik.
Di lubuk hati Rahman yang paling dalam, terbesit satu keinginan yang sudah cukup lama dipendam dan ia usahakan. Dia sangat ingin membeli rumah untuk dihadiahkan kepada istri tercinta.
“Dia itu tidak pernah sama sekali meminta atau menuntut untuk dibelikan sesuatu. Tapi, saya bercita-cita mau membelikan dia rumah suatu saat nanti,” harapnya. (*)