PENULIS: ISAK PASA’BUAN
MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Pepohonan yang rindang berjejer rapi di sepanjang Jalan Riburane, Kelurahan Wajo, Kota Makassar. Daunnya yang hijau tumbuh subur menutupi gedung peninggalan kolonial Belanda yang berdiri tegak dengan gaya arsitektur neo klasik Eropa itu.
Suasana nampak lengang. hanya suara kendaraan yang hilir mudik di luar pagar gedung yang dikenal dengan sebutan Gedung Kesenian Sulawesi Selatan Societeit de Harmonie.
Dari halaman gedung, tak nampak satupun orang. Hanya empat pilar penyanggah gedung yang menjulang tinggi serta pada sayap timur gedung berdiri sebuah menara bersusun tiga menyambut kedatangan penulis.
Cat gedung nampak mulai luntur digantikan lumut hijau yang tumbuh subur di kala musim penghujan tiba. Penulis perlahan melangkah masuk ke ruang gedung tua itu. Seorang penjaga dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berjaga tepat di pintu masuk.
Tak banyak yang berubah. Suasana dalam gedung juga nampak sepi. Pencahayaan yang tak begitu baik membuat suasana gedung pengap. Seisi ruangan nampak gelap.
“Cari siapa pak?” tanya personel Satpol PP yang sedang berjaga.
Penulis perlahan memaparkan maksud dan tujuan kedatangannya. Tak lama penjaga pun mengarahkan penulis saya ke sisi timur tepatnya di ruangan Kepala UPT Museum Mandala dan Societe de Harmonie.
“Masuk pak,” sambut Takdir H. Wata, Kepala UPT Museum Mandala dan Societe de Harmonie selaku pengelola gedung dengan luar sekitar 2.339 meter persegi tersebut.
Di ruangan itu, Takdir rupanya baru selesai merapikan sejumlah foto-foto lawas para pejuang Sulawesi Selatan. Tak banyak yang istimewa dalam ruangan berukuran kira-kira 8 meter persegi itu. Hanya ada beberapa kecapi yang terpajang rapi di dinding ruangan.
Saat mengetahui maksud penulis datang, dia pun mulai menceritakan sejarah singkat gedung tersebut. Gedung Kesenian awalnya digunakan sebagai tempat sosialiasi dan pesta orang-orang Belanda yang tinggal di Makassar kala itu. Acara-acara kebudayaan yang dimulai pada dekade 1910-an hingga 1930-an.
“Societeit de Harmonie bahasa Belanda, sinonim dari pesta, musik jazz dan bersenang-senang,” paparnya.
Sejak awal, Gedung Societeit de Harmonie yang didirikan sekitar tahun 1896 difungsikan sebagai tempat eksklusif orang-orang Belanda bersosialisasi pada masa kejayaanya.
Kemudian pada awal abad ke-20, gedung sebagai lokasi Gemeente (administratif) pemerintah Kota Makassar menjamu tamu penting, perkumpulan dan acara resmi lainnya.
“Jadi waktu itu sepanjang akhir pekan, Societeit de Harmonie menjadi tempat melepas lelah. Mulai dari jam delapan malam, pesta digelar. Kadang juga ada pertunjukan sandiwara atau musik kala itu,” ujarnya.
Seiring waktu, pasca-Indonesia merdeka, Societeit de Harmonie kemudian berganti menjadi kantor instansi pemerintahan.
Takdir yang baru sekitar dua bulan menjabat sebagai kepala UPTD gedung tersebut masih belum mengetahui banyak akan sejarah Societeit de Harmonie atau Gedung Kesenian Sulsel. Ia hanya menceritakan apa yang ia ketahui berdasarkan dari referensi buku-buku sejarah yang ia baca.
Ia tak banyak mengetahui fungsi gedung tersebut di masa penjajahan Jepang atau setelah Belanda meninggalkan Indonesia.
Menurutnya, gedung berbentuk huruf L tersebut tetap berfungsi sebagai pusat kesenian setelah Indonesia merdeka. Sayang, kelompok-kelompok teater tak bisa leluasa menggunakan tempat ini lantaran digunakan sebagai tempat pertemuan dan berkumpulnya orang-orang Eropa, Tionghoa dan golongan bangsawan lokal.
Saat Andi Pangerang Petta Rani menjabat Gubernur Sulawesi tshun 1956 sampai 1960, muruah Societeit de Harmonie sebagai pusat kesenian dipulihkan. Teater yang digerakkan seniman lokal pun kembali menggeliat.
Selain itu, beberapa instansi sempat menggunakannya sebagai kantor. Mulai dari DPRD Tingkat I Sulawesi Selatan (1960-1978), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Dinas Pendapatan Daerah (1978-1980) lalu Dewan Kesenian Makassar (1980-1990).
Gedung itu juga sepat dijadikan Kantor Pembantu Gubernur Wilayah III dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) (1990-2000). Lalu kembali ditempati Dewan Kesenian Makassar dari tahun 2000 hingga sekarang. Termasuk di dalamnya difungsikan sebagai kantor UPT Museum Mandala dan Societe de Harmonie yang dibawa naungan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulsel.
“Jadi sekarang ini kita fungsikan sebagai kantor, ada sekitar 9 orang ASN dari Disbudpar Sulsel yang berkantor di sini, yang mengelola gedung ini. Saya salah satunya,” ujarnya.
Gedung tua peninggalan Belanda ini sepengetahuannya Takdir terakhir direnovasi pada jaman pemerintahan Zainal Basri (ZB) Palaguna, mantan Gubernur Sulawesi Selatan periode 1993-2003. Hingga saat ini gedung prasejarah ini jika ingin direnovasi harus memenuhi spesifikasi salah satunya tidak boleh mengubah bentuk semula.
Dalam gedung ini, terdapat sekitar tujuh ruangan, salah satunya yang sering digunakan adalah panggung tertutup. Sementara di ruangan belakang gedung terdapat pula tempat pementasan seni yang disebut panggung terbuka. Sejak tahun 2022 gedung Kesenian Sulsel ini disebut tak pernah ada pementasan.
“Di panggung terbuka untuk antraksi kesenian, tarian musik dan sebagainya. Sejak saya masuk di sini belum ada pertunjukan seni,” paparnya.
Olehnya itu ia berharap ke depan gedung ini dikembalikan pada fungsinya sebagaimana di masa Belanda mengelola gedung tersebut.
“Saya berharap gedung kesenian dijadikan sebagai pusat kegiatan berkesenian, dihidupkan kembalim olehnya itu kami berupaya menjalin kemitaraan kepada semua pihak untuk bagaimana menghidupkan kembali kesenian di gedung ini, sehingga bisa dikenal oleh generasi muda bahwa ini adalah bangunan mewah pementasan kesenian di eranya waktu itu,” pesannya.
Di hari biasa, bangunan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya pada 22 Juni 2010 itu dikenal sebagai tempat nongkrong. Tiap malam, kios-kios sederhana memanfaatkan trotoar depan GedKes untuk menjajakan kopi panas, aneka jus hingga nasi kuning. (*)