“Perangkat daerah tidak bisa membebankan sepenuhnya LPPD ini ke bagian pemerintahan. Sebab, bagian pemerintahan bukan penyusun, hanya mengkompilasi. Yang menyusun adalah unit kerja,” tekannya.
Oleh karena unit kerja yang melaksanakan kegiatan, lanjut Indah, maka menjadi kewajibannya, menjadi tugas pokoknya untuk membuat laporannya. Kalau tidak ada laporan pertanggungjawabannya, maka itu namanya tidak akuntabel.
“Kata kuncinya adalah kita membuat laporan untuk memberi keyakinan kepada penerima laporan. Kalau sampai tidak yakin, berarti laporan tidak diterima,” paparnya.
Hadir dalam kesempatan tersebut, mewakili Dirjen Otonomi Daerah Kementerian dalam Negeri, Kepala Seksi Evaluasi Program dan Laporan Wilayah I A, Parlin Jumanti Siahaan. Ia menyampaikan, ada beberapa perubahan dalam metode penyampaian LPPD. Kalau selama ini manual, maka mulai 2021 sudah dilakukan secara elektronik atau berbasis digital.
“Konsekuensinya, kalau sudah diupload dalam dalam sistem LPPD, maka tidak ada lagi perbaikan sebagaimana pelaporan manual yang dilakukan sebelumnya,” ungkapnya.
Berikutnya, kata Parlin, ada perubahan penilaian indikantor kunci. Kalau dulu hanya rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi, maka sekarang menjadi lima, yakni sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
“Hal ini tentu berimplikasi pada range angka yang tadinya 25 menjadi 20. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri karena sejak perubahan ini, ada daerah yang pencapaiannya sudah sangat tinggi, tiba-tiba melorot,” katanya mengingatkan. (*)