Suara Azan: Mengajak Bukan Mengejek

  • Bagikan

Oleh : Guru Besar UINAM Makassar, Prof. DR. H. Irfan Idris MA
Direktur Deradikalisasi dan Juru Bicara BNPT 

DIRIWAYATKAN dalam sebuah kisah seorang tukang azan mengumandangkan panggilan sholat bagi yang menunaikan, namun tidak banyak yang perhatikan bahkan yang datang hanya beberapa orang yang berusia lansia terutama pada sholat jamaah subuh.

Pada hari selanjutnya dia mencoba mengumandankan azan pada waktu yang belum saatnya dikumandangkan, masyarakat serta merta sangat ramai mendatangi masjid karena disangka orang gila yang azan pada waktu yang tidak tepat.

Ringkas cerita pemuda yang azan mengatakan siapa sebenarnya yang tidak sadar ? saya atau kalian ? Pada saat waktu sholat tiba panggilan sholat saya kumandangkan hanya sedikit bahkan kadang tidak ada orang yang datang. Sementara saya azan pada saat waktu sholat belum tiba, kok mengapa banyak yang pada datang ? Siapa sebenarnya yang kurang waras ?

Ibadah sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar, bagi yang beriman menunaikan sholat minimal lima kali sehari semalam bahkan banyak rangkaian sholat sunat yang dapat ditunaikan.

Hiruk pikuk suara mengaji, sholawat, dan azan yang menjelang tiba waktu sholat telah berlangsung lama di tengah masyarakat Indonesia terutama di tengah masyarakat perkotaan yang sangat heterogen dengan berbagai macam agama dan keyakinan serta jenis profesi yang dimiliki oleh masyarakat, hiruk pikuk tersebut tidak banyak melahirkan problematika baik dari dan oleh kaum muslim dan umat beragama lainnya.

Yang banyak melahirkan kegelisahan dan keresahan bagi masyarakat Indonesia yang pada umumnya bermazhab sunni dan beraliran ahlusunnah waljamaah, adalah ceramah pengajian taklim yang sarat dengan muatan penanaman kebencian dan penyebaran permusuhan. Point ini bukan hanya mengganggu masyarakat yang beragama selain Islam tetapi juga sangat mengganggu umat Islam lainnya.

Hiruk pikuk terkini adalah akibat penetapan surat edaran kementerian Agama RI tentang penertiban suara toa memunculkan polemik sosial di dalam masyarakat, Indonesia sebagai negara bangsa bukan negara agama masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan semua penduduk lainnya juga telah memiliki agama keyakinan dan kepercayaan, wajar saja bila suara mengaji sholawat dan azan sangat ramai memenuhi angkasa memecah kesunyian yang bertujuan mengajak umat Islam bersiap siap menunaikan kewajiban dengan atau tanpa hadir ke masjid secara berjamaah.

Cukup sampai di sini, polemik tentang hiruk pikuk suara yang oleh banyak orang Islam merasa teganggu pada satu sisi, namun di sisi lain tidak sedikit penganut agama selain Islam yang sudah menyatu dan menikmatinya sebagai irama yang indah penuh estetika.

Hiruk pikuk lain yang muncul adalah perbandingan antara suara azan dengan alunan suara anjing. Menyikapi efek dan akibat dari perbandingan yang tidak sebanding seyogiayanya tidak berlebihan karena yang membandingkan sendiri antara suara azan dengan suara anjing tentu tidak terlahir dengan dijemput oleh suara anjing tetapi sejak lahir diazankan di telinga kanan dan diiqomat di telinga kiri.

Semua pihak harus menahan diri dan tidak melakukan reaksi berlebihan sebab boleh jadi oknum yang tidak senang dengan Indonesia aman dan damai merasa mendapat angin dan kesempatan menjadikan suasana semakin keruh dan gaduh, galau dan kacau.

Terkait pemilihan diksi analogi suara azan dengan suara anjing tentu Menteri Agama dapat menjelaskan lebih clear dan clean pilihan diksi yang sangat tidak tepat dan mencengangkan masyarakat Indonesia.

Berharap suasana yang kondusif ini dapat kita pelihara bersama sebagai bangsa yang plural penuh toleransi apalagi Kementerian Agama menggalakkan dan mengkampanyekan program moderasi beragama sesuai nafas tasamuh dan tawasut, pemahaman keagamaan yang teks dan konteks, beragam di tengah keberagamaan dan beragama di tengah keragaman. (*)

  • Bagikan