Restorative Justice

  • Bagikan

Acram Mappaona Azis
Praktisi Hukum

PEMIDANAAN merupakan upaya terakhir dalam sistem hukum di Indonesia. Pluralisme hukum, yang terdiri dari hukum adat di lingkup hukum agraria, hukum Islam di lingkup hukum keluarga, ibadah, dan harta benda, hukum Eropa kontinental dalam lingkup hukum perikatan, sampai hukum pidana, yang dalam perkembangannya mulai menerapkan nilai-nilai budaya dalam penyelesaian perkara pidana.

Namun demikian, pemidanaan masih menjadi jalan bagi pihak-pihak yang berselisih paham. Demikian halnya dengan aparat penegak hukum, bahkan pemerhati hukum itu sendiri.

Memberikan sanksi pidana telah menjadi senjata, yang digunakan untuk saling membalas dendam. Dalam perkara hutang piutang, misalnya, para pihak cenderung memilih menjadikan upaya pidana untuk mendapatkan kembali tagihannya, dengan harapan si pemangku hutang, akan membayar apabila ada ancaman pidana.

Pemikiran ini juga diperburuk dengan praktik politik kita yang masih menggunakan hukum sebagai alat untuk saling menjatuhkan dalam kontestasi politik.

Pertanyaannya adalah, sampai kapan bangsa ini menjadikan hukum sebagai suatu ketaatan kolektif, dibandingkan sekadar alat pemberi rasa takut dan ancaman? Sementara tujuan hukum itu sendiri memberikan manfaat, adil, dan pasti.

Pascapandemi, saya menemukan beberapa perkara yang berawal dari hubungan kerja, bisnis, pinjam meminjam, dan investasi. Hal ini pun ternyata tidak dipahami oleh pihak-pihak yang menjalin hubungan hukum.

Dalam pinjam meminjam, tentu ada hak dan kewajiban, memberikan pinjaman, menerima pinjaman, sampai melunasi pinjaman itu sendiri.

Berbeda dengan investasi yang merupakan percampuran modal, di mana hubungan hukum ini memiliki risiko, yaitu untung dan rugi.

Dalam pelaksanaannya, pihak yang bekerja sama dalam hubungan investasi hanya memikirkan untung dan ketika terjadi kerugian, berakhir dengan perselisihan hukum.

Perkembangan teknologi informasi, harus diakui lebih cepat dari yang pernah dibayangkan sebelumnya. Sehingga hubungan hukum dapat terjadi dengan cepat, hanya melalui percakapan di sosial media. Hal inilah kemudian melahirkan kejahatan-kejahatan baru, dari pinjaman online sampai investasi fiktif.

Kejahatan itu sendiri, sebenarnya konvensional, namun karena teknologi informasi, sehingga dapat menjangkau korban lebih besar. Kasus kospin, travel umrah, sampai aplikasi trading yang menyuguhkan kemudahan, kemurahan, dan keuntungan, menjadikan pelaku dengan mudah mengembangkan operasinya, menghimpun dana dari masyarakat, dan dipertontonkan dalam kemewahan.

Apakah restorative justive bisa diterapkan dalam perkara kejahatan modern ini? Substansi dari setiap permasalahan hukum adalah kerugian yang diderita korban, baik itu materiil, maupun immateriil.

Dalam kasus travel umrah, misalnya, bisa diselesaikan dengan memediasi penyelenggara dengan jamaah, jika aset dari penyelenggara masih lebih besar daripada kewajiban terhadap jamaah.

Demikian halnya dengan investasi fiktif, yang justru dilakukan di masa pandemi, yang korbannya merupakan orang-orang yang terkena PHK, bahkan ada yang sampai mengambil kredit untuk ikut dalam investasi fiktif.

Hal pertama yang harus dilihat tentu nilai aset dari pelaku dibandingkan dengan kewajiban yang harus dibayarkan. Jika nilai aset masih lebih besar, maka pengembalian dana kepada korban, tentu menjadi pilihan dalam penyelesaian.

Jika sekiranya nilai aset itu tidak mencukupi, menurut hemat saya, maka pengembalian sebagian dari kerugian korban itu, sudah luar biasa. Karena korban penipuan dengan penipu itu sama-sama memiliki kelemahan, si penipu ingin cepat kaya dari jerih payah orang lain, sementara korban penipuan juga ingin cepat kaya tanpa harus bekerja keras.

Mindset itu bertemu, menjalin hubungan hukum, yang berdampak pada kerugian korban, dan pelaku juga tentu sudah memperhitungkan risiko yang akan dihadapi.

Jadi, kita harus kembali ke khitah hidup, be smart, karena kaya raya bukanlah tujuan hidup, melainkan bonus kehidupan. Hidup tenang, tentram dan damai, menikmati secangkir kopi di pelataran mesjid, lebih membahagiakan. (*)

 

  • Bagikan

Exit mobile version