VOX POPULI: Oil at War

  • Bagikan

Oleh: Muhammad Takdir

RAKYATSULSEL – Minggu ini, harga minyak dunia naik 5% menjadi 121 USD per-barrel (23/3). Kenaikan itu menjadi angka tertinggi sejak tahun 2014. Fluktuasi harga minyak dunia didorong oleh gangguan suplai minyak global di tengah permintaan pasar AS yang tinggi. AS merupakan salah satu konsumer minyak terbesar di dunia.

Perang Rusia vs Ukraina dan disrupsi cuaca yang mengganggu ekspor crude oil melalui Caspian Pipeline Consortium (CPC) menambah tekanan suplai minyak global. Akibat sanksi yang dihadapi Rusia sebagai eksportir crude oil terbesar kedua di dunia serta berhentinya operasi terminal CPC di pantai Laut Hitam Rusia membuat ketidakpastian mood pasar minyak global semakin akut.

Analis pasar minyak bahkan memprediksikan, harga minyak dunia bisa mencapai 200 USD per-barel pada April nanti. Situasi itu akan menjadi spotlight utama dalam pertemuan darurat Presiden AS, Joe Biden dengan para pemimpin Uni Eropa di Brussels pekan ini.

Langkah Biden yang akan mengumumkan lebih banyak sanksi terhadap Rusia belum tentu diterima baik oleh banyak negara di Uni Eropa. Mereka pecah dalam menyikapi kampanye sanksi energi, termasuk larangan impor crude oil Rusia maupun produk komoditas minyak lainnya.

Ini sudah menjadi semacam genderang perang oil at war. Mirip kebijakan war on terror yang digaungkan George Bush pada paruh pertama dekade 2000-an.

Konsumen dunia bakal limbung mengamankan suplai minyak global. Uni Eropa sendiri sebagian besar masih sangat tergantung pada suplai minyak Rusia. Tidak akan mudah bagi mereka untuk menggantikannya dengan alternatif sumber energi lain dalam waktu dekat di luar yang dipasok Moskow.

Carsten Fritsch, analis energi dari Commerzbank Research menyebut tidak seluruh negara Uni Eropa mendukung gagasan Biden. Pada pertemuan Versailles di Perancis dua pekan lalu, Jerman dan Hongaria sudah menunjukkan keberatan dalam menyikapi sanksi energi secara lebih luas terhadap Rusia.

Keputusan terhadap oil at war jelas memerlukan kesamaan pandangan yang solid jika tidak ingin harga minyak global akan semakin liar.

AS sesungguhnya cukup rentan dalam kampanye oil at war. Awal langkah itu diambil, Washington ironisnya meminta Arab Saudi untuk dapat meningkatkan suplai minyaknya sebagai substitusi minyak Rusia.

Lebih dramatis lagi, Venezuela yang selama ini dianggap bagian gang begundal musuh bebuyutan Washington ikut didekati.
Ternyata oil at war bukan manuver mudah. Kalkulasi resiko geo-politik dan geo-ekonominya cukup tinggi. Ini barang ngeri-ngeri sedap! (***)

  • Bagikan

Exit mobile version