MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Tekanan yang dialami investor di Kawasan Industri Makassar (KIMA) dari pihak pengelola kian besar. Selain intimidasi, pihak investor juga diancam dengan upaya melakukan audit keuangan internal perusahaan kalau menyatakan tidak mampu membayar biaya perpanjangan Perjanjian Penggunaan Tanah Industri (PPTI).
Imbasnya, karena ketakutan usahanya akan terganggu, sejumlah investor terpaksa menyerahkan kembali tanahnya ke PT KIMA yang telah dimiliki melalui perikatan jual beli di awal tahun 90-an.
Sebagian lagi pelaku usaha di KIMA, dipaksa melakukan pembayaran biaya PPTI dengan cara cicil. Padahal, telah menyatakan keberatan dan tidak mampu membayar biaya perpanjangan PPTI yang ditetapkan sebesar 30 persen dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) karena terlalu tinggi.
“Pengusaha di KIMA alamai tekanan demi tekanan dari pengelola kawasan industri itu. Kami resah karena tanpa dasar hukum apapun, PT KIMA memaksa melakukan audit keuangam perusahaan kalau kami menyatakan todak mampu membayar biaya perpanjangan PPTI,” terang juru bicara Paguyuban Pengusaha KIMA Makassar, M Tahir Arifin, Jumat (1/4/2022).
Menurut Tahir Arifin, banyak pengusaha di kawasan industri terbesar di Indonesia Timur ini merasa kena jebakan oleh PT KIMA. Dia menyebutkan, awal tahun 90-an banyak investor yang masuk ke kawasan kelola PT KIMA dengan janji kemudahan.
“Tapi setelah masuk kami dijebak. Tanah yang sudah dibeli kini dikenakan biaya PPTI sangat tinggi. Bahkan diintimidasi dan diteror dan dipaksa audit keuangan perusahaan,” terang Tahir.
Mewakili ratusan investor yang kini menjalankan usaha di KIMA, Tahir Arifin mengharapkan adanya bantuan perlindungan hukum dari Kementerian BUMN dan pejabat terkait yang memiliki kewenangan untuk meninjau ulang kebijakan dari pengelola Kawasan Industri Makassar ini.
“Kami mohon perlindungan hukum karena ketakutan baik jasmani maupun rohani karena adanya ancaman dari PT KIMA bahwa semua pengusaha akan disetop,” jelasnya.
Tahir mengingatkan pula semua stakeholder terkait kalau lebih dari 200 perusahaan di KIMA menaungi 20 ribu tenaga kerja lebih. Kalau investasi terganggu dan investor hengkang, maka ribuan pekerja bisa terkena imbas pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sebelumnya, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof Hambali Thalib mengatakan, pada dasarnya tanah yang secara hukum sudah menjadi hak milik melalui perikatan seperti jual beli maka pemilik lahan atau investor bukan lagi harus diberikan kepastian hukum, tapi harus mendapat perlindungan hukum.
“Kalau tanah sudah menjadi hak milik dalam kajian hukum, bukan hanya memberikan kepastian hukum bagi pemilik tetapi sekaligus memberikan perlindungan hukum,” jelasnya saat dihubungi wartawan. (*)