MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mabes Polri diminta turun tangan menyelidiki indikasi permainan pajak dalam kasus peredaran kosmetik ilegal di Sulawesi Selatan. Bisnis ini juga diduga mengarah pada tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Ada indikasi kuat ke arah sana (permainan pajak). Cara kerja mereka juga bisa dijerat TPPU. Dengan perputaran omzet miliaran ini jelas ada alur TPPU," terang Direktur Laksus Muhammad Ansar, Rabu (11/5/2022).
Menurut Ansar, alurnya, pertama pada sektor pajak. Bisa dibayangkan aktivitas ilegal ini tidak tersentuh pajak. Berapa banyak kerugian negara yang ditimbulkan karenanya.
Ansar mengatakan, mereka dengan bebas melakukan transaksi jual beli. Tapi tidak membayar pajak.
"Logikanya sederhana. Bisnis kosmetik ini ilegal. Omzetnya miliaran tapi dibiarkan tak bayar pajak. Sementara ada UMKM yang omzetnya kecil dikenai pajak. Inikan melukai rasa keadilan ekonomi rakyat," tukas Ansar.
Padahal jika mereka beraktivitas legal, ini akan menjadi pundi-pundi pajak potensial. Serapan pajak di sektor ini sangat besar.
"Tapi kan tidak. Mereka nikmati sendiri. Kewajiban pajak tak tersentuh sama sekali. Maka itu indikasinya mengarah ke TPPU," jelasnya.
Menurut Ansar, dari perspektif ini, bisnis kosmetik ilegal bisa dikategorikan kejahatan besar. Alasannya kata dia, pertama berdampak pada kerugian pajak negara. Dan kedua pada keselamatan manusia.
"Karena itu Bareskrim Polri harus memberi perhatian khusus pada peredaran kosmetik ilegal di Sulsel. Di luar Jawa, Sulsel menjadi pasar paling potensial. Kami mendesak ada upaya konkret membongkar sindikat ini," tandas Ansar.
Koordinator yang juga peneliti Laksus, Mulyadi mengungkapkan, cara-cara kerja ilegal para pelaku bisnis kosmetik sangat jelas akan menghindarkan mereka dari kewajiban pajak. Mereka sengaja tetap melakukan aktivitas ilegal ini agar tak tersentuh pajak.
"Ya jelas. Namanya ilegal nda mungkinlah mereka tersentuh pajak. Kalau tidak tersentuh pajak artinya jelas di situ ada indikasi TPPU," tegas Mulyadi.
Menurutnya, dalam bisnis kosmetik ilegal acuannya jelas. Mulyadi lalu membandingkannya dengan kosmetik-kosmetik legal.
Pada kosmetik legal dengan brand terpercaya seperti Viva, Sari Ayu dan lain lain, di situ semua dicantumkan bahan dasarnya pada kemasan. Ada kontra indikasinya. Ada izin edarnya dari BPOM dan juga dilengkapi sertifikasi halal.
Satu lagi kata Mulyadi, pada brand kosmetik legal tidak ada produk all in one.
"Efek penggunaannya juga kan kalau kosmetik legal itu lebih masuk akal. Coba bandingkan produk ilegal. Mereka sangat instan. Hnya dipakai sebulan kulit langsung putih. Sementara produk legal harus dipakai berbulan bulan baru ada hasilnya," ujar Mulyadi.
Dari sini sudah terlihat bahwa brand brand ilegal itu. "Di sini kan sudah memunculkan pertanyaan ada kadar berlebih yang mereka pakai sampai bisa memberi efek instan seperti itu. Artinya memang ada unsur mengelabui, merusak dan menipu konsumen," tandasnya.
Pada produk ilegal mereka juga berani memproduksi produk all in one. Produk ini tak mencantumkan kontra indikasi, bahan dasar. Dan sudah barang tentu tak melalui uji laboratorium.
"Produk all in one berfungsi untuk semua. Bisa untuk pemutih dan juga pelangsing. Dan banyak lagi fungsi lainnya. Inikan berbahaya. Apalagi tak melalui uji lab," paparnya.
Soal pajak, kata Mulyadi, nilainya sangat fantastis. Berdasarkan hasil penelitian pihaknya, omzet bisnis kosmetik ilegal di Sulsel bisa mencapai puluhan miliar per bulan.
"Coba kalau itu bisa kena pajak, akan jadi pundi-pundi baru. Tapi ini menguap. Tak sesenpun masuk untuk pajak. Artinya apa? Ya artinya ada pidana pencucian uang," ucap Mulyadi.
Mulyadi mendorong ada upaya terencana dari kepolisian untuk membongkar kejahatan ini. Kata dia, jika dibiarkan akan berkembang memunculkan kejahatan ekonomi baru.
"Kapolda Sulsel tak boleh lagi diam. Kita tunggu sikap tegasnya," tandasnya. (*)