(Refleksi 18 Tahun Kepemimpinan Ketua KKS)
Oleh : H. A. Ahmad Saransi
(Pengurus DPP KKS tahun 2004 - sekarang)
MASIH SEGAR ingatan kami Untaian rambut Prof. Syarifuddin Wahid yang terurai diterpa angin di atas lajunya speed boot di malam hari Lima Belas Tahun silam tepatnya pada tahun 2007 menuju Kabapaten Panajam Paser Utara Kalimantan Timur laksana untaian sutra melambai-lambai.
Dalam suasana perjalanan yang penuh ketegangan, hantaman ombak menerpa speed boot hingga menghasilkan bunyi yang berirama mengantar ingatan kita pada sentra tenun sarung sutra di Marioriawa.
Sang penenun dengan gigih mengurai helai-helai benang sutra yang kusut, dan sekali-kali melemparkan teropong benang untuk merajutnya lalu menyentakkan walidanya merenda sutra menjadi selembar sarung yang berdimensi filosofis : persatuan (sisampuri), melindungi (sisalipuri), saling mengisi dan memberi (siloangeng) dan masih banyak lagi.
Itulah personifikasi kegigihan Prof. Syarifuddin Wahid selaku Ketua KKS dalam Delapan Belas tahun kepemimpinannya.
Beliau dalam masa kepemimpinannya telah melakukan misinya merajut kerukunan warga Soppeng di rantau sekaligus merenda ke-Indonesia-an warga Soppeng dalam bingkai Negara Kesatuan Indonesia.
Diaspora Warga Soppeng
Diaspora warga Soppeng ke berberbagai daerah di Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Irian sudah dilakukan puluhan bahkan ratusan tahun yang lampau.
Diaspora tersebut merupakan gerak dinamis orang Soppeng untuk menata kehidupannya yang lebih baik dibanding di kampung halamannya.
Rekam jejak yang tercatat dalam arsip telah memperlihatkan bukti yang kuat atas kehadiran mereka di penjuru tanah air. Di bandar-bandar pelabuhan besar, ataupun di pusat-pusat perdagangan tidak sukar untuk mendapatkan pemukiman warga Bugis Soppeng, baik yang masih utuh kebugisannya, maupun yang telah berasimilasi dengan penduduk setempat.
Koloni-koloni Bugis Soppeng tidak hanya terdapat di Bandar-bandar nusantara tetapi juga di kawasan pesisiran Malaysia.
Bertolak dari realitas ini, jika kita ingin melihat dari arsip sebagai fakta-fakta historis maka dapat dilihat beberapa fakat-fakta sejarah yang membuat mereka melakukan diaspora ke negeri-negeri lain, seperti ke Kalimantan, Sumbawa, Lombok, Jawa, Bali, Irian Jaya, Manado, Palu, Buton, di Sumatera dan Tanah Semenanjung.
Sejak terjadinya aneksasi Kerajaan Gowa ke Kerajaan Bone dan Soppeng pada tahun 1663, orang Bugis Soppeng telah melakukan migrasi besar-besaran ke Tanah Jawa yang dipimpin langsung oleh Putra We Tenri Sui Datu Marioriwawo yang jamak dikenal Arung Palakka sang lagendaris itu.
Mereka membangun koloni di muara Angke dan Petojo di Jayakarta (Jakarta). Kemudian ketika perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945-1950, menyusul peristiwa kekacauan gerombolan Kahar Muzakkar pada tahun 1950 an – tahun 1960 an, booming perdagangan sarung sutra dan ico Cabbenge tahun 1970 an dan seterusnya.
Kehadiran warga Soppeng di rantau, sangatlah dihargai karena telah ditempa oleh sikap pluralisme yang sangat tinggi dan sangat menghargai kemajemukan dikampung halamannya.
Hal ini dapat dilihat dari prinsip mereka bahwa “tegai soré lopié, kunittu labu séngereng” (Dimanapun perahu berlabuh, maka disitu pulah kita melabuhkan kenangan).
Hal itu senada dengan peribahasa Melayu, “dimana bumi diinjak, disitu langit dijunjung”. Dengan demikian, bagi orang Bugis Soppeng sangat menghargai pluralisme.
Namun sejak terjadinya diaspora Bugis Soppeng dipenjuru nusantara, Indonesia hingga dibentuknya KKS, disadari, belum pernah mereka dihimpun dalam wadah KKS sebagai wadah resmi warga Soppeng.
Apalagi ketika mencuatnya disharmoni pluralisme bangsa Indonesia maka kehadiran KKS sangat dirindukan oleh warga Soppeng di rantau sebagai salah satu wadah perekat ke-Indonesia-an.
Oleh karena itu, salah satu program kerja utama Prof. Syarifuddin Wahid selaku Ketua KKS pada awal pelantikannya pada tahun 2004 adalah berusaha membentuk dan melantik pengurus KKS dimanapun komunitas warga Soppeng berada.
Hal itu pun mendapat dukungan oleh Pemda Soppeng dan Ketua DPRD Soppeng.
Prof Syarifuddin Wahid Merajut KKS Merenda Ke-Indonesia-an
Tidak dapat dipungkiri bahwa Aktifitas Prof. Syarifuddin Wahid sebelum memangku Ketua KKS beliau telah lama bergelut dalam misi kemanusiaan.
Bahkan dua tahun sebelum dilantik, Prof. Syarifuddin dalam misi kemanusiaannya selaku tenaga medis telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang pengkoyakan secara sistimatis ke-Indonesia-an kita.
Di berbagai wilayah nusantara seperti Kalimantan, Maluku, Poso, Papua dan lainnya benturan itu memakan korban nyawa manusia yang teramat mahal harganya.
Kebersamaan dan energi toleransi antar komunitas masyarakat yang sebelumnya menjadi permadani dalam interaksi keberagamaan budaya, melalui kesamaan tekad dan visi membangun Indonesia yang dapat memakmurkan komunitas-komunitas sosial di dalamnya sontak mengalami disharmoni yang benar-benar mengancam eksistensi immagined ke-Indonesia-an ketika itu.
Potret peristiwa terurai tadi, bila disandingkan dengan kultur masyarakat Soppeng dan Indonesia pada umumnya tidak memiliki ideologi rasialis, seperti dalam masyarakat Amerika yang rasialis, tercermin pada adanya diskriminasi karena perbedaan kulit antara warga kulit putih dengan hitam.
Rasa pluralisme sebagai kesadaran bersama tercermin dan dapat kita lihat dalam sejarah Kabupaten Soppeng, sederet nama suku mendiami daerah ini (Cina, Jawa, Makassar, Toraja, Manado) telah menunjukkan pluralitas yang berterima dan diterima oleh masyarakat Soppeng.
Dari semangat pluralisme itu pula deretan makna tentang visi dan cita-cita bersama melalui “perahu” Indonesia menjadi kesadaran bagi komunitas-komunitas warga Soppeng dirantau akan suatu hidup bersama bersederajat yang membawa kesejahteraan dan kedamaian sebagaimana yang tertera dalam konstitusi negara Indonesia.
Dalam konteks ini pula, adanya kemajemukan yang disertai dengan kesadaran pluralisme yang dimiliki oleh masyarakat Soppeng menjadi modal sosial (social capital) dalam membangun dan memberdayakan komunitas-komunitas lainnya di Nusantara Indonesia.
Dalam konteks itu, maka tidak salah bila Prof. Syarifuddin Wahid menjadikan skala prioritas program kerjanya adalah menghimpun warga Soppeng dirantau dalam satu Wadah KKS dengan unsur keanggotaan dari berbagai warnah golongan dan agama.
Sehingga beliau dalam pidato sambutannya selalu mengingatkan dan megajak agar KKS dijadikan wadah kerukunan dengan warnah pelangi yang indah dan penuh damai.
Penutup
Prof. Syarifuddin Wahid selaku Ketua KKS selama masa kepemimpinannya dari tahun 2004 hingga tahun 2022 telah dibentuk sekitar dua puluh DPD KKS di seluruh Indonesia seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan seterusnya.
Namun dilihat dari diaspora Bugis Soppeng keberbagai daerah di Indonesia tentunya hal itu belum maksimal, oleh sebab itu kita sangat berharap kiranya dapat menyusul terbentuknya DPD-KKS selanjutnya setelah terbetuknya DPD-KKS Kota Makassar pada tahun 2021 yang lalu. Semoga. (***)