OPINI: IKN dan Tantangan E-Governance

  • Bagikan
Iin Fitriani, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Makassar

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pada 15 Februari 2022 lalu, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Dalam UU IKN tersebut, Penajam Paser di Kalimantan Timur (Kaltim) dipilih menjadi IKN baru nantinya, pengganti Jakarta di Pulau Jawa.

Sebelumnya, pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke salah satu wilayah di pulau Kalimantan, ramai di perbincangkan, termasuk narasi pro-kontra yang mengiringinya. Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan selalu menyinggung wacana pemindahan Ibu Kota.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) juga memastikan bahwa rencana ini akan dilaksanakan karena telah dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Visi Indonesia 2045.

Bappenas, mengungkapkan enam alasan Ibu Kota Negara pindah dari Jakarta ke Penajam Paser, Kaltim. Pertama, beban Jakarta dan Jawa sudah terlalu berat.

Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) pada 2015 menyebutkan, sebesar 56,56 persen penduduk Indonesia atau 150,18 juta jiwa terkonsentrasi di pulau Jawa. Kedua, kontribusi ekonomi pulau Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia atau Produk Domestik Bruto (PDB), sangat mendominasi.

Ketiga, krisis air bersih. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2016, Jawa dan Bali mengalami krisis air yang cukup parah. Kondisi paling buruk berada di daerah Jabodetabek dan Jawa Timur.

Hanya sebagian kecil di pulau Jawa yang memiliki indikator hijau atau ketersediaan airnya masih sehat, yakni di wilayah Gunung Salak hingga Ujung Kulon. Keempat, konversi lahan terbesar terjadi di Pulau Jawa.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, Pulau Jawa mengalami konversi lahan terbesar di antara gugus pulau lainnya di Indonesia. Kelima, pertumbuhan urbanisasi sangat tinggi, dengan konsentrasi penduduk terbesar di Jakarta dan Jabodetabekpunjur.

Pada tahun 2013, Jakarta menempati peringkat ke-10 kota terpadat di dunia (UN, 2013). Lalu pada tahun 2017 masuk peringkat ke-9 kota terpadat di dunia. Keenam, ancaman bahaya banjir, gempa bumi, dan tanah turun di Jakarta.

Meningkatnya beban Jakarta sehingga terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi. Hal itu seperti rawan banjir, tanah turun dan muka air laut naik, kualitas air sungai tercemar berat.

  • Bagikan