MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Nonton bareng (nobar) dan diskusi film dokumenter Before You Eat (BEY) produksi serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) didukung Greenpeace Indonesia berlangsung meriah. Pemutaran film dengan durasi 92 menit ini digelar di Red Corner cafe Jalan, Yusuf Daeng Ngawing Makassar, Sabtu malam (28/5/2022).
Film BEY sendiri berkisah tentang pengungkapan aktivitas perikanan ilegal yang dikenal dengan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) fishing, yang termasuk di dalamnya adalah praktik perbudakan dan perdagangan manusia yang menimpa anak buah kapal (ABK) dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Tujuan film ini sendiri adalah untuk mengajak para penonton menyadari bahwa di balik hidangan seafood yang tersaji di piring mereka, bisa jadi terdapat jejak praktik perbudakan para ABK.
Berangkat dari kesadaran ini, publik diharapkan dapat lebih kritis dalam mengkonsumsi dan memilih sumber makanan hasil tangkapan laut, turut mendukung kampanye stop perbudakan modern di laut dan mendorong pemerintah lebih serius menangani permasalahan HAM ini.
Dalam diskusi empat narasumber turut dihadirkan, yakni Friska Kalia dari Greenpeace Indonesia, Erni dari SBMI Tegal, Muhammad Al Amin dari Walhi Sulawesi Selatan, dan Nurdin Amir dari Jurnalis. Para pesertanya sendiri berasal dari CSO, Jurnalis, dan Pers Mahasiswa. Film BEY akan tayang pada 13 hingga 30 Maret.
Friska Kalia dari Greenpeace Indonesia dalam pemaparannya mengatakan, awalnya Greenpeace Indonesia melakukan investigasi dan hasil investigasi tersebut ditemukan banyak penangkapan ikan secara ilegal. Parahnya lagi ABK di atas kapal tersebut termasuk diperbudak sebab diberi upah murah.
"Seperti yang kita saksikan dalam film tersebut, ternyata kapal asing yang ABK kebanyakan dari Indonesia dibayar murah," ucap Friska.
Senada dengan itu, Erni dari SBMI Tegal mengungkapkan bahwa ada 80 agensi yang tidak memiliki surat resmi dan hanya 22 agensi yang resmi dari Kemenhub di Jawa Tengah. Mirisnya para ABK ini tidak diberikan jaminan kesehatan saat berada di atas kapal.
"Sebenarnya ABK tidak memiliki jaminan kesehatan di kapal, jadi hanya obat yang disediakan itu yang dikonsumsi," sebutnya.
Atas dasar itu, Erni mengimbau bahwa sebelum menjadi ABK sebaiknya mengetahui regulasi yang ada dan mengetahui apa yang harus dilakukan jika agensi dan kapal bermasalah. Sebab banyak kejadian yang tidak berperikemanusiaan.
"Pemerintah harus hadir dan harus membebaskan ABK di masa modern ini," pesannya.
Ketua Walhi Sulsel Muhammad Al Amin mengatakan bahwa kapal-kapal ikan itu selalu tidak hanyak eksploitatif terhadap ABK nya namun pada penangkapan ikannya secara eksploitasi juga.
"Tidak mau menangkap ikan yang sedikit namun ingin menangkap ikan sebanyak-banyaknya," ujarnya.
Terakhir, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar Nurdin Amir bahwa konteks film ini adalah hak asasi manusia dan lingkungan. Jadi bagaimana jurnalis membuat secara mendalam mengenai kasus-kasus ABK. Bukan hanya pemberitaan secara peristiwa saja.
"Soal eksploitasi lingkungan, bagaimana kemudian teman-teman jurnalis tidak hanya meliput tentang peristiwa ABK saja. Namun ada persoalan yang harus didorong regulasi bahwa negara harus turut andil dalam eksploitasi ABK," ucapnya.
Lanjut, Nurdin Amir mengucapkan bahwa pengawasan terhadap kapal nelayan yang berlayar perlu diperhatikan karena dalam film banyaknya kapal yang tidak memiliki izin dalam berlayar.
"Bagaimana peran pemerintah dan regulasi yang ada itu yang perlu didorong," tuturnya.
Kesimpulan dari Nobar dan Diskusi Film Before You Eat Herlin adalah untuk menyampaikan bahwa seseorang tertarik menjadi ABK karena diiming-imingi uang yang banyak. Padahal adanya agensi yang tidak resmi membuat ABK menjadi di eksploitasi dan tidak sesuai dengan ekspektasinya. (Cr3)