Pengadaan Alat Rapid Test dan Antigen di Kemenkes Sebesar Rp1,46 T jadi Temuan BPK

  • Bagikan
Ilustrasi

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Kementerian Kesehatan soal pengadaan alat rapid test dan antigen senilai Rp1,46 triliun jadi sorotan publik.

Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi meminta aparat penegak hukum segera menindaklanjuti temuan BPK di Kementerian Kesehatan tersebut.

"Kalau ada penyimpangan berarti harus masuk ke ranah hukum. BPK harus menyiapkan bukti ke penyidik hukum," kata Uchok, Minggu, 29 Mei 2022.

Dia menjelaskan sejumlah temuan BPK di antaranya pengadaan alat rapid test antigen di Kementerian Kesehatan pada tahun anggaran 2021 senilai Rp1,46 Triliun.

Selain itu BPK juga menemukan kelebihan pembayaran pengadaan alat kesehatan penanganan COVID-19 di Kementerian Kesehatan sebesar Rp167 Miliar di tahun yang sama untuk pengadaan alat pelindung diri, masker, handscoon non-steril dan reagen PCR senilai Rp3,19 Triliun.

Uchok menilai penyimpangan ini tidak bisa dianggap hal biasa dan wajar. Hal ini dikarenakan kasus tersebut terjadi berulang kali sejak pandemi COVID-19 pertama kali terjadi pada 2020.

"Harus ada penyidikan lebih lanjut, panggil aja Menteri Kesehatan, karena ini atas perintah dia, biar tanggung jawab dia," katanya menegaskan.

Tak hanya itu, dalam pengadaan vaksin COVID-19, BPK juga menemukan sejumlah kejanggalan.

Dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II, lembaga auditor negara mencatat bahwa sebanyak 297 bets atau 78.361.500 dosis vaksin COVID-19 beredar tanpa melalui penerbitan izin bets atau lot release.

“Vaksin itu juga belum menyediakan informasi bets/lot release yang tepat waktu, lengkap dan dapat diakses real time oleh pihak yang membutuhkan,” kata Ketua BPK Isma Yatun saat menyampaikan laporan IHPS II BPK, Selasa (24/5).

Selain itu BPK juga menemukan alokasi vaksin COVID-19, logistik, dan sarana prasarana belum sepenuhnya menggunakan dasar perhitungan logistik dan sarana prasarana sesuai dengan perkembangan kondisi atau analisis situasi terbaru.

Pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan vaksinasi COVID-19 juga belum sepenuhnya didukung dengan sistem informasi pencatatan yang dapat memastikan hasil vaksinasi pada seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sesuai dengan kondisi sebenarnya, dan seluruh hasil vaksinasi telah dicatat dengan informasi yang lengkap dan tepat waktu.

“Selain itu, sistem informasi yang tersedia belum dapat disandingkan dengan seluruh data dan informasi yang mendukung pelaksanaan vaksinasi,” ungkapnya.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan agar BPOM melakukan penyesuaian regulasi terkait penerbitan izin bets/lot release.

Menurut dia, rekomendasi itu menyesuaikan dengan Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang pengadaan dan pelaksanaan vaksin dalam rangka penanggulangan pandemi Corona virus Disease 2019.

Sebelumnya dalam amar putusan MA terkait Perpres nomor 99 tahun 2020, bahwa pemerintah wajib menyediakan vaksin halal kepada masyarakat Muslim.

Namun sayangnya sampai saat ini baik dalam SK Menkes dan SE Ditjen P2P, pemerintah masih belum menyediakan vaksin halal secara proporsional sesuai dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia. (FIN)

  • Bagikan