Amrayadi merinci, secara ekonomis politik uang pada pemilih senilai Rp100 ribu tak senilai dengan kepentingan pemilih pada jangka panjang.
“Misal, ada pemilih yang diberi Rp 100 ribu untuk memilih calon tertentu. Coba bagi lima sesuai masa jabatan lima tahun anggota dewan, hanya Rp 20 ribu lebih. Apakah suara kita mau hanya segitu, bahkan sejuta pun tak akan cukup,” tambahnya.
Ketua Bawaslu Sulsel Laode Arumahi mengatakan terus melakukan sosialisasi dan pendampingan berjenjang di setiap level dalam hal pengawasan partisipatif dan pendidikan politik pemilih pemula di kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan.
"Kami di Bawaslu terus mengembangkan jejaring. Selain di tingkat pemilih pemula, Bawaslu juga telah menjalin kerjasama dengan Perguruan Tinggi dalam hal pengembangan edukasi masyarakat dan juga pengembangan SDM di internal Bawaslu," katanya.
Dirinya menyebutkan kegiatan sosialisasi dan pendidikan tidak boleh berhenti dilakukan.
"Kesadaran politik dan kepemiluan di tingkat generasi muda kita dapat di pupuk sejak dini," harapnya.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Andi Ali Armunanto mengatakan walau politik uang masih berpotensi terjadi, tapi pemilih pemulalah yang mendapat informasi lebih cepat melalui media sosial, bagaimana konsekuensinya jika dia menerima atau memberikan uang dengan harapan memilih salah satu caleg atau kepala daerah.