“Bersyukur organisasi kami mendapatkan perhatian dari lembaga-lembaga sosial, kami bermitra dengan mereka, memperlihatkan situasi anggota kami seperti apa dan itu mendapat perhatian. Pasalnya, kami sama sekali tidak pernah mendapatkan dukungan pemerintah sejak pandemi Covid-19,” kata Al Qadri.
Al Qadri sendiri adalah OYPMK. Saat berusia 6 tahun, dia divonis menderita kusta. Sempat berpindah-pindah kota tempat tinggal, Qadri memutuskan tinggal dan menetap di Jongaya pada 1991. Di sinilah dia bertemu dengan istrinya, yang juga merupakan OYPMK.
Al Qadri sadar pembatasan kegiatan semakin mengekang gerak warga Jongaya, yang membutuhkan pemasukan untuk menghidupi diri dan keluarganya masing-masing.
Vaksin Covid-19 mau tidak mau menjadi syarat agar OYPMK bisa menjalani kegiatan dengan tenang.
Akan tetapi, informasi yang beredar di masyarakat soal keamanan vaksin, menjadi salah satu penghambat program vaksinasi OYPMK.
Selain itu, di awal-awal program vaksinasi nasional, Maret 2021, OYPMK memang tidak dimasukkan dalam kelompok rentan, yang diprioritaskan sebagai orang yang pertama kali menerima vaksin Covid-19 ketika sudah ada di Indonesia.
Hal itu juga diakui Humas Ikatan Dokter Indonesia Makassar, dr Wahyudi Muchsin. Awal program vaksinasi nasional, sekitar bulan Maret 2021, warga yang menderita kusta ataupun OYPMK belum bisa divaksin. Mereka dimasukkan dalam kategori orang yang memiliki komorbid atau penyakit bawaan.
Akan tetapi, setelah dilakukan penelitian lanjutan, menurut Wahyudi, penderita kusta maupun OYPMK boleh mendapatkan vaksinasi Covid-19.
“Jadi setelah dilakukan riset dan merekaeminum obat secara teratur, seperti hipertensi, diabetes, mereka bisa mendapatkan vaksinasi,” tuturnya.
Walaupun telah dinyatakan aman, tetap saja OYPMK enggan divaksin. Seperti yang disampaikan Marawang, dia tidak yakin hal itu akan melindunginya dan sebaliknya, vaksinasi hanya akal-akalan pemerintah saja.