"Namanya politik kita boleh berseberangan, tapi tetap harus berdialog dong. Kalau tidak bisa berdialog, maka kita meragukan dia punya kemampuan komunikasi sebagai pimpinan," katanya.
Sekarang, lanjut Hasrullah, politik sudah memasuki era paska kebenaran, atau post-truth. Sehingga jika silaturahmi mulai pecah, maka itu menunujukkan karakter pemimpin partai.
"Jadi saya menganggap kalau ada pemimpin partai, siapapun juga, itu akan menurungkan kredibilitasnya mata publik. Apalagi kalau post-truth itu sudah mengandung kebenaran. Ini harus dibuka mindset pemimpi partai, karena sekarang sudah era keterbukaan," tuturnya.
Ia mencontohkan, saat Pilpres 2019 lalu, meski melawan banyak ketua partai, Joko Widodo mampu memenangkan kontestasi politik. Lantaran didukung oleh post-truth.
Apalagi kalau ada pemimpin partai yang melakukan kesewanang-wenangan, itu akan menimbulkan efek buruk. Belajarlah tentang komunikasi politik.
"Bagaimana cara merawat keberagaman, dan kesamaan presepsi, kalau ada konflik internal di partai maka yang salah bukan saja anggotanya, maka ketuanya juga harus di koreksi," katanya.
Menurut Hasrullah, pemilik suara atau rakyat sudah lebih dewasa dalam melihat konstalasi yang ada. Khususnya pemilih pemula.
Boleh dia menang memimpin partai, tapi dia akan kalah pada pemilihan nanti. Ini perlu diingatkan ke pemimpin partai, agar tetap berkordinasi dengan baik dengan pengurus daerah.
"Sikap politik Taufan Pawe sekarang itu berbahaya, kalau bikin poling dia jatuh itu di mata publik. Walaupun dia kuasai pengurus partai. Karena orang yang dizalimi itu juga akan melawan, dan setiap orang punya dukungan lokal politik," ucapnya.
Sebelumnya, Ina Kartika tak ingin berkomentar banyak. Sebab sampai saat ini dirinya juga belum tahu alasannya di keluarkan dari grup DPD I Golkar Sulsel.