MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) khususnya pasal penghinaan presiden dinilai antidemokrasi. Pasalnya, itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan spirit reformasi 1998 yang telah dibangun dengan susah payah.
“Sebenarnya pasal penghinaan presiden ada dalam hubungan pribadi-pribadi, ini diangkat-angkat ke dalam jabatan. Nanti mengkritik itu akan dianggap menghina. Jadi ini merupakan praktik anti-demokrasi,” tegas Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini dalam keterangannya, Senin (11/7).
Bahkan, lanjut Ketua Dewan Pengurus LP3ES itu, praktik-praktik antidemokrasi itu sudah masuk pada ruang parlemen dan aparatur negara, melalui RKUHP yang dinilai banyak yang bermasalah tersebut.
Atas dasar itu, Didik menyebut reformasi 1998 berupaya dibajak oleh kelompok-kelompok yang antidemokrasi itu dengan berbagai cara.
“Demokrasi itu dibajak oleh pelopor dan pelaku demokrasi. Jadi setelah tahun 1998 mereka buta dan melabrak apa saja, termasuk pasal penghinaan presiden,” ujarnya.
Lebih lanjut, Didik berharap kepada kelompok intelektual, akademisi untuk tidak berdiam diri melihat kondisi seperti ini. Kondisi di mana demokrasi dan reformasi sedang dibajak.
“Kita harus sensitif dengan kondisi sekitar,” pungkasnya. (Rmol)