OLEH: IKHWAN ARIF
Pengamat Politik dan Pendiri Indonesia Political Power
LAYAKNYA sebuah opera, pertunjukan drama koalisi partai politik tidak ubahnya seperti panggung dramatis, yang diselingi pertunjukan seni musik. Kepiawaian aktor bersandiwara, serta orkestrasi klasik, memaknai opera sebagai seni pertunjukan klasik yang jalan ceritanya terus berulang.
Meskipun sandiwara pembentukan koalisi sudah mulai mengerucut, namun seni pertunjukan oleh aktor-aktor politik dalam pembentukan koalisi, masih jauh dari tujuan awal pembentukan koalisi.
Skenario pemilihan figur, tokoh atau sosok bakal calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung pada pilpres 2024, terganjal oleh perbedaan sifat dan watak aktor-aktor politik dalam menentukan arah koalisi.
Hal ini disebabkan oleh kalkulasi untung rugi dan dinamika politik pasca gerilya politik yang dilakukan oleh beberapa elite partai politik.
Lagu-lagu lama yang dipertontonkan mudah ditebak. Tingkah laku politik, sikap, gerak-gerik para politisi dan kontroversi antar elite politik, mengundang polemik dan ketidakharmonisan yang seharusnya tidak dipertontonkan.
Jika kita lihat dari alur ceritanya, panggung sandiwara ini tidak luput dari pro-kontra aturan ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold). Ambisi untuk merubah aturan ini kembali terpatahkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi, yang bersikukuh tetap memberlakukan aturan ambang batas ini, terhitung sejak tahun 2004 silam.
Salah satu pertunjukan politik yang sangat menyita atensi publik ketika partai Nasdem mendeklarasikan nama-nama bakal calon yang akan diusung pada Pilpres 2024.
Para elite partai mulai kocar-kacir diselang beberapa waktu ketua umum Partai Nasdem, Surya Paloh mendeklarasikan salah satu nama kader potensial PDIP, yaitu Ganjar Pranowo, kemudian ada nama Anies Rasyid Baswedan Gubenur DKI Jakarta, dan Panglima TNI Andika Perkasa.
Momentum ini kemudian serentak dimanfaatkan oleh beberapa petinggi partai untuk membangun konsolidasi partai atas dasar kesamaan nama bakal calon yang akan diusung pada Pipres 2024 nanti.
Terbukti ketika petinggi PKS dan Partai Demokrat bertemu dengan ketua umum partai Nasdem, Surya Paloh, yang diindikasikan membentuk koalisi atas dasar kesamaan figur potensial yang dipilih.
Kemudian secara bersamaan partai Gerindra dan PKB membentuk poros baru, dimana figur Prabowo Subianto Ketua Umum Partai Gerindra dinilai sebagai figur potensial, berpengalaman dalam Pilpres beberapa dekade terakhir.
Merujuk pada nilai elektabilitas dari beberapa lembaga survei, Prabowo Subianto mempunyai elektabilitas lebih tinggi daripada Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar.
Jauh berbeda dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang dilakoni oleh partai Golkar, PPP dan PAN yang sampai saat ini belum mendeklarasikan nama bakal calon yang akan diusung pada Pilpres 2024.
Padahal KIB adalah koalisi yang pertama kali berdiri dan mendeklarasi diri untuk maju pada Pilpres 2024. Nampaknya KIB menunggu waktu yang tepat untuk mendeklarasikan nama calon yang akan diusung pada Pilpres 2024.
Strategi mengulur-ulur waktu menjadi bahan pertanyaan, apakah KIB sudah mengantongi nama bakal calon yang akan diusung di Pilpres 2024 nanti? Tentu jawabannya sudah.
Berdasarkan hasil beberapa lembaga survei, KIB mempunyai figur potensial yang mempunyai elektabilitas cukup tinggi yaitu Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar, yang sampai saat ini masih menjabat sebagai Menko Perekonomian di bawah garis kepemimpinan Presiden Jokowi.
Jika dilihat dari proses terbentuknya, Koalisi Indonesia Bersatu merupakan irisan dari koalisi partai penguasa eksekutif yaitu PDIP. Sampai saat ini KIB masih dibayang-bayangi oleh kekuasaan Presiden Jokowi.
Tidak hanya KIB, terbentuknya poros baru oleh beberapa partai koalisi pendukung pemerintah, dapat dianalogikan seperti duri dalam daging. Meskipun secara langsung keberpihakannya tidak dapat dilihat, akan tetapi manuver politiknya sangat nyata.
Tersandera oleh Tarik-Ulur Kepentingan
Fenomena tarik ulur kepentingan politik diprediksi akan terus berlanjut sampai pada titik temu dimana distribusi kepentingan dan konsolidasi politik berada pada tahap sempurna.
Pada tahap konsolidasi ini, salah satu faktor terpenting adalah menentukan waktu yang tepat untuk mengeluarkan semua amunisi politik, demi memperoleh kemenangan yang sempurna.
Kondisi ini diperkuat oleh pemikiran Harold Dwight Lasswell (1936) Who Gets What, When, How (Siapa, mendapatkan apa, kapan dan bagaimana). Dalam hal ini kita lihat bagaimana para elite partai politik yang berkuasa, mengatur bagaimana perubahan pola distribusi kepentingan dalam masyarakat, karena distribusi bergantung pada kekuasaan.
Titik fokus analisisnya adalah pada dinamika kekuasaan sebagai kekuatan dan tujuan yang diinginkan, dan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan.
Jika dilihat pada kondisi terkini, PDIP sebagai partai penguasa parlemen dan eksekutif, dinilai sebagai partai yang sampai saat ini konsisten berada pada puncak konsolidasi internal partai.
PDIP tidak mudah terpancing untuk mendeklarasikan nama calon yang akan diusung pada Pilpres 2024 nanti. Sehingga koalisi partai politik diluar kuasa PDIP tersandera oleh langkah-langkah politik, dan sikap politik PDIP yang secara terang-terangan menunggu komando sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Mengapa demikian? Pertama, partai politik yang berkuasa adalah kunci utama. PDIP mempunyai taktik disiplin dalam berpolitik, sehingga kehadirannya sebagai lakon, mempunyai peran kunci dalam menentukan arah dan dinamika pembentukan koalisi di Pilpres 2024.
PDIP mempunyai kekuatan besar di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, keduanya dipimpin oleh kader internal PDIP (Presiden Jokowi dan Puan Maharani).
Secara otomatis partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi berada pada posisi menunggu (wait and see), pasang kuda-kuda, bahkan ada beberapa partai yang sudah mendeklarasikan diri.
Kedua, kaderisasi partai politik. Beberapa partai politik mempunyai figur dan kader potensial untuk maju pada Pilpres 2024. Namun dalam konteks Pilpres, tidak semua kader potensial mendapatkan tiket untuk maju sebagai calon, semua tergantung pada proses konsolidasi internal partai politik.
Satu hal yang harus diperhatikan, ketika partai memiliki kader potensial dan memiliki daya tarik serta elektabilitas tinggi, why not? Partai politik harus berani mendukung dan mengesampingkan ego internal partai, bahkan membuka peluang untuk membentuk koalisi dengan partai lain.
Sehingga wajar terjadi ketika kader partai politik yang berpotensi untuk maju pada Pilpres 2024, dilirik oleh partai politik lain dengan dalih partai politik butuh kejelasan, kesempatan dan kepastian politik untuk menyelamatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan partai.
Kondisi ini terjadi ketika kader PDIP Ganjar Pranowo dideklarasikan oleh partai Nasdem untuk maju sebagai calon pada Pilpres 2024.
Ketiga, faktor figur atau ketokohan. Dalam pembentukan koalisi, ketokohan atau figur merupakan wujud keterwakilan pilihan rakyat, bukan semata-mata untuk ajang pertunjukan kepentingan partai politik atau koalisi partai.
Pada tahapan pemilihan figur, bagi koalisi elektabilitas figur atau tokoh adalah faktor terpenting, sebaliknya bagi rakyat di akar rumput, ketokohan atau figur diartikan sebagai seseorang yang mampu menampung aspirasi mereka, untuk memenuhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan hidup rakyat.
Berdasarkan hasil survei elektabilitas dari beberapa lembaga survei, nama-nama figur atau tokoh yang menjadi pilihan rakyat yaitu Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah, Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono dan Andika Perkasa.
Ganjar Pranowo adalah figur kunci dalam percaturan koalisi partai politik, karena kepiawaiannya dalam berpolitik menjadi tarik ulur kepentingan elite politik. Ketika PDIP melepas Ganjar, serentak Ganjar Pranowo akan menjadi rebutan.
Sebagai kader PDIP, elektabilitasnya melampaui elektabilitas ketua DPR RI Puan Maharani yang diprediksikan maju sebagai calon Presiden 2024 nanti.
Besar kemungkinan keduanya dipilih sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden 2024, dengan alasan pertimbangan elektabilitas figur dan keduanya berasal dari internal partai.
Di luar faktor internal partai, Ganjar Pranowo mempunyai kekuatan relawan seperti Ganjaris, Srikandi, yang terbentuk sebelum berdirinya koalisi partai politik. Tarik ulur antara relawan dan kader partai tidak dapat dihindari.
Ketika kader partai PDIP menunggu keputusan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, desakan eksternal partai terhadap pencalonan Ganjar Pranowo sebagai calon Presiden semakin kuat.
Di lain sisi, figur Anies Baswedan diprediksikan maju sebagai rival Ganjar Pranowo. Sebagai figur publik yang berada diluar partai politik, Anies Baswedan mempunyai kekuatan relawan politik dan jabatan Gubernur DKI Jakarta, sehingga partai Nasdem dan PKS secara terang-terangan memberikan dukungan politik terhadap Anies Baswedan.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kekuatan relawan sangat mendominasi dinamika politik di daerah. Merujuk pada Pilpres 2019, relawan Projo dan relawan Prabowo-Sandi menjalankan fungsi agregasi kepentingan rakyat di tingkat daerah.
Dengan demikian, pentas demokrasi ini benar-benar dapat mendistribusikan semua keinginan dan harapan rakyat, atas kepentingan bersama, dengan memperhatikan partisipasi langsung rakyat dalam memilih pasangan calon yang akan di usung pada Pilpres 2024 nanti. (Rmol)