Pada kesempatan itu Gobel menceritakan pengalamannya berkunjung ke Hokota, Jepang, awal Agustus lalu. Kota itu 50 tahun sebelumnya sebagai wilayah pertanian yang miskin. "Namun kemudian mereka memajukan pertaniannya. Mereka mengembangkan teknik sendiri, tanpa bantuan pakar dari universitas. Kini Hokota menjadi kota yang makmur dan menjadi pemasok hasil pertanian untuk seluruh Jepang," katanya.
Ia mengajak para santri untuk belajar ke petani Hokota untuk kemudian diterapkan di Indonesia. Selain itu ia juga mengajak para santri untuk melihat industri elektronika yang ia miliki. Ajakan itu disambut tepuk tangan para hadirin.
Gobel menjelaskan perbedaan pabrik dan industri. Keduanya memang sama-sama ada mesin dan segala peralatannya, ada lahan, ada karyawan, dan ada produk yang dihasilkannya. Jika pabrik berhenti pada membuat barang, katanya, maka industri tak berhenti di situ. Karena dalam industri harus ada ekosistem, tata nilai, harmoni sosial dan lingkungan hidup.
"Dalam industri betarti membangun peradaban, membangun manusia dan lingkungannya. Jadi harus berpikir tentang keberlanjutan. Jadi ini soal pola pikir," katanya.
Gobel mengakui bahwa untuk mewujudkan potensi kekuatan ekonomi kaum santri menjadi kekuatan ekonomi yang riil tidaklah mudah.
"Butuh wawasan, skill, dana, pengalaman, dan terutama bersatu. Saya mengajak untuk membangun dan menguatkan koperasi. Ibarat lidi, jika sendiri mudah patah. Tapi jika bersatu akan kuat," jelasnya.
Dengan demikian, kata Gobel, sarung dan kaum sarungan bukan sekadar simbol, identitas, atau corak budaya tapi benar-benar menjadi kekuatan riil ekonomi nasional. "Mari kita bangkit dengan bersatu untuk memajukan Indonesia," katanya. (fo)