"Jika ini berhasil, barulah para pemilih milenial menganggap bahwa mereka memang perlu memberikan dukungan dan suara mereka ke caleg milenial," tegasnya.
Direktur Eksekutif PT Indeks Politica Indonesia (PT IPI) Suwadi Idris Amir dalam analisisnya menyebutkan, besarnya pemilih dari kaum milenial bukan jaminan bagi caleg muda untuk terpilih.
Menurutnya, pemiilih kaum milenial mayoritas masih pragmatis dalam bersikap dalam menentukan pilihan politiknya. Artinya pemilih kaum milenial sama saja dengan pemilih lainnya dalam bersikap politik.
"Kaum milenial baru bisa memberi pengaruh dalam perhelatan politik jika mereka hadir membawa visi misi dan ideologi yang mengarah pada perbaikan perpolitikan dan kemajuan bangsa. Baik itu kaum milenial yang muncul selaku pemain (caleg) ataupun sebagai pemilih," pungkasnya.
Pengamat Kepemiluan, Nurmal Idrus mengatakan, data tinggi pemilih milenial menunjukkan bahwa pemilih milenial cukup potensial untuk menentukan kemenangan.
Olehnya kata Nurmal, parpol harus aktif menjalin komunikasi serta membuat kegiatan yang bisa menarik perhatian kaum milenial.
"Parpol tentu harus melihat karakter pemilih milienial. Tim pemenangan di masing-masing parpol atau kandidat harus menemukan model program apa yang paling bisa menarik hati para milenial ini," ujarnya.
Direktur Eksekutif PPI, Ras Md mengatakan, pemilih milenial yang persentasenya menembus 50 persen tentu menjadi pekerjaan (PR) bagi semua partai politik ataupun kandidat.
"Jika pola konvensional tetap dipertahankan dalam mempengaruhi pemilih atau kata lainnya partai politik bergaya pragmatis, sangat sulit akan diterima dikelompok milenial," tuturnya.
Olehnya itu, lanjut dia, partai politik mesti memahami klaster dan ciri khas pemilih milenial agar partainya disenangi dan dipilih oleh kelompok milenial.
"Tapi satu hal yang mesti dipahami, merangkul pemilih milenial tak harus bergaya milenial. Ini yang banyak disalah artikan oleh para politisi," jelasnya. (Fahrullah-Suryadi Maswatu)