PT. Vale Garap Proyek dengan Gandeng Perusahaan Asing, Pengamat: Makin Jelas Hanya Jadi ‘Broker’

  • Bagikan
PT. Vale Indonesia Tbk di Sulawesi

"Dari kajian dan identifikasi masalah kami dari PKPK menyimpulkan harus ada perubahan kalau tak ingin memicu rakyat di daerah semakin gerah. Pertama, kami mengusulkan agar perubahan kontrak karya menjadi IUPK nanti bisa dilanjutkan prosesnya dengan beberapa syarat seperti ketentuan penguasaan lahan tidak lebih 25.000 hektar," bebernya.

Kemudian, lanjut Saiful, syarat dua hingga tiga persen perhitungan perolehan PNBP untuk hak pemerintah provinsi tidak diberlakukan dan kembali pada ketentuan pasar HPM (nikel) yang ditetapkan pemerintah. Kemudian besaran Landrend dalam bahasa umum "sewa tanah" wajib ditinjau kembali.

"Juga harus dilakukan reviu kembali terkait penggunaan sungai Larona, Sungai Balambano dan Sungai Karebbe sabagai pusat Pembakit Tenaga Air (PLTA kap. 365 MW) yang dimanfaatkan untuk kebutuhan komersial dengan nilai kemanfaatan ekonomi yang tinggi, tetapi kemanfaatan terhadap masyarakat Lutim sangat minim karena masyarakat tidak gratis listrik tetapi tetap seperti pengguna dikabupaten lain," ujarnya.

Lajut Saiful, terkait kapasitas 10,7 MW yang katanya untuk masyarakat, faktanya dijual ke PLN. Ini wajib ditransparankan tatakelola jual belinya.

"Danau Matano, Danau Mahalona dan Danau Towuti sebagai Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam perlu dikaji pemanfaatannya yang selama ini hanya memberi dampak ekonomi sepihak, apakah sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan," ujar Saiful.

"Demikian juga, katanya, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) ex wilayah Kontrak Karya sepatutnya dikembalikan kepada masyarakat untuk dikelola sabagai anak bangsa dan tentunya memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 yang dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung oleh pemerintah dengan melibatkan melibat DPR RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten dengan mekanisme tatakelola bisnis to bisnisnya yang diserahkan keoada BUMD Kabupaten dan BUMD Provinsi sesuai Pasal 33 ayat 1 dan 2 UUD 1945," kata Saifullah.

Kemudian, kata Saiful, model investasi pembangunan smelter yang marak saat ini adalah pemilik IUP bersepakat dengan Investor untuk membangun smelter dengan sharing saham Investor 51% dan pemilik IUP 49% . Akan tetapi investor juga memiliki saham terhadap IUP agar ada jaminan supply ore nikel.

Dalam hal ini Investor menanggung biaya pembangunan Smelter 100%. Smelter dan IUP menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pemilik IUP tidak mengeluarkan dana satu rupiah pun untuk bangun smelter.

“Kalau hal ini terjadi di PT. Vale maka mereka hanya menggadaikan tanah air kita untuk memiliki smelter. Malang betul nasib warga Sulsel kalau hal ini terjadi. Kalau ini betul, hanya satu kata: “Tolak Peroanjangan Kontrak PT. Vale” dan sebaiknya lahan nikel PT. Vale diserahkan ke perusahaan Daerah Kabupaten dan Provinsi kemudian perusahaan daerah yang kerjasama dengan investor agar masyarakat Sulawesi yang menikmati, bukan orang asing tanpa modal,” ujarnya.

Semua syarat di atas menjadi sangat penting untuk dipenuhi karena ini menyangkut hak masyarakat daerah yang selama 54 tahun keberadaan PT. Vale terus terabaikan.

"Harus ada perubahan untuk semua itu. Karena ke depan masyarakat yang merasa terabaikan di Sulawesi akan semakin sadar dan paham akan apa yang terjadi dan itu bisa memicu konflik sosial di daerah yang tidak kita harapkan bersama," pungkasnya. (*)

  • Bagikan