Perlu Dikaji Ulang, APTISI Sulawesi dan APPERTI Pusat Sebut RUU Sisdiknas Diskriminasi Dosen

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mendapat sorotan dari berbagai pihak.

Kecaman itu salah satunya disampaikan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah IX A bersama Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (APPERTI) sepakat menolak RUU Sisdiknas (Sistem Pendidikan) dipending agar dikaji lebih mendalam.

"Hari ini kita rapat pengurus. Dalam rapat kami meyepakati menolak RUU Sistem Pendidikan Nasional," ujar ketua APTISI Sulawesi, Prof Basri Modding, saat pertemuan APTISI Wilayah IX dan APPERTI membahas kebijakan tersebut di gedung menara UMI, Jumat (23/9/2022) sore.

Sejumlah pimpinan Perguruan Tinggi swasta di Sulsel hadir dalam pertemuan ini. Rapat dipimpin Ketua APTISI Wilayah IX A Prof Basri Modding dan Ketua APPERTI Pusat Prof. Dr. Mansyur Ramli.

Menurutnya, Basri Modding bahwa RUU Sisdiknas menjadi topik utama yang dikaji para pimpinan Perguruan Tinggi dan Yayasan ini. Pihaknya mendesak Presiden turin tangan membentuk timelibatkan semua pihak untuk pengkajian lebih dalam.

"Kami meminta presiden Joko Widodo membentuk tim yang melibatkan para stakeholder termasuk APTISI dan APPERTI untuk merumuskan RUU Sisdiknas," lanjutnya.

Tak hanya itu, poin akreditasi dalam RUU Sisdiknas juga disorot para akademisi ini. APTISI meminta akreditasi Pergurian tinggi atau institusi lebih penting dari alreditasi program studi.

"Kami juga menilai bahwa prodi itu tidak wajib untuk akreditasi tapi yang wajib itu institusi," jelas Ketua APTISI Wil IX A.

Dalam RUU Sisdiknas, status profesi dosen juga menjadi perhatian khusus. Prof Basri Modding menyampaikan, RUU Sisdiknas ini memisahkan status antara dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN)

"Di RUU itu, dosen PTN dan PTS itu dibedakan. Dosen PTN diarahkan ke Aparatur Sipil Negara (ASN), tapi dosen PTS diarahkan ke UUD Ketenagakerjaan. Artinya sederajat dengan buruh," tegas Prof Basri Modding

"Jelas ini merugikan karena profesi kita sama sebagai dosen, tapi kenapa dibedakan di RUU," sambungnya.

Poin ini pun membuat para dosen PTS mengaku kecewa. Sebab, mereka menjalankan tugas yang sama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Hasil rapat ini akan diteruskan dalam Aksi penyampaian aspirasi di Jakarta pada Selasa-Kamis (27-29/9/2022).

"Kita akan hadir di tiga titik. Mulai dari kantor Kemendikbudristek, DPR RI dan di Istana Negara," jelas Prof Basri Modding.

Senada dengannya, Ketua APPERTI Pusat Prof. Dr. Mansyur Ramly memandang RUU Sisdiknas tidak dikaji mendalam.

"Kita memandang RUU Sisdiknas ini tidak dikaji dari budaya bangsa kita. Oleh karena itu, secara filosofi RUU ini harus dirombak," ujar Prof Mansyur Ramli.

"Ini perlu kita tolak dulu lalu membentuk tim yang melibatkan stakeholder untuk membentuk undang-undang yang baik dan benar," sambungnya

Prof Mansyur menilai kajian mendalam dengan melibatkan perguruan tinggi dan akademisi perlu dilakukan secara massif.

Sebab, RUU Sisdiknas akan mengatur pendidikan nasional yang berdampak pada kualitas generasi bangsa

"Pondasi pendidikan kita harus berbasis budaya kita. Ini adalah rohnya yang harus diperbaiki," tutup Prof Mansyur.

Saat ini, APERSI Wil IX A dan APPERTI sedang mempersiapkan bahan kajian untuk berangkat ke Istana Negara menyampiakan aspirasi menolak RUU Sisdiknas.

  • Bagikan