OLEH: Gusti Palumpun
Tahun 2023 seharusnya menjadi tahun harapan bagi para buruh. Setelah krisis pandemi, tahun ini setidaknya menjadi momentum positif bagi sektor ketenakerjaan.
UMP yang selama dua tahun hanya naik di bawah 3 persen, bisa tumbuh lebih menjanjikan. Daya serap industri dan jasa juga mestinya lebih progresif. Sektor sektor penyangga ekonomi pun harusnya sudah pulih lebih cepat.
Tapi realitasnya berbeda. Pemerintah memutuskan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) hanya dipatok di bawah 10%. Angka ini sontak memantik protes buruh. Kebijakan pemerintah dianggap tak berpihak.
Kebijakan inipun dijadikan celah oleh pengusaha untuk membonsai UMP. Mereka menaikkan UMP dengan patokan terendah. Di beberapa provinsi ada yang menaikkannya pada angka tertinggi. Tapi tak diikuti oleh daya serap lapangan kerja.
Provinsi dengan kenaikan UMP terendah yaitu Papua Barat 2,6 persen. Sedangkan yang tertinggi adalah Sumatra Barat yaitu naik 9,15 persen. Selain problem nilai, kemampuan industri dan jasa dalam menyerap tenaga kerja masih menukik di 2022. Sehingga problem ketenagakerjaan terus berkutak pada UMP dan daya serap naker.
Pemerintah dalam Permenaker No.18/2022 memaparkan bahwa penyesuaian nilai upah minimum 2023 dihitung dengan formula mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Poin poin inilah yang membuat UMP tak bisa didongkrak lebih tinggi.
Apalagi di 2023 dunia menghadapi ancaman inflasi. Yang memungkinkan memicu resesi. Jika ini terjadi kenaikan UMP yang tak seberapa, tidak akan memberi nilai apa-apa bagi pekerja.
Merujuk pada aturan sebelumnya yang tercantum pada turunan UU Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.36/ 2021 tentang Pengupahan, formulasi hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi (salah satu yang lebih besar). Ini digugat para buruh karena pemerintah dianggap terlalu naif.
Kebijakan sektor naker dinilai hanya menghidupkan ekonomi neolib. Berpihak pada pengusaha. Tidak mempertimbangkan nasib buruh dengan segala konsekuensi hidup yang mereka jalani.
Pemerintah sendiri beralasan, UMP kali ini dianggap lebih baik. Saat puncak pandemi 2021, UMP hanya naik antara 2 hingga 3 persen. Bahkan pemerintah pusat saat itu merekomendasikan tak ada kenaikan. Alasannya, karena kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi hebat.
Ada gubernur memilih menaikkan upah buruh (UMP) 2021 meski pemerintah pusat merekomendasi tak ada kenaikan. Tapi kenaikan ini justru hanya untuk pencitraan politik. Bukan ditujukan menyejahterakan buruh.
Para gubernur dinilai sekadar berlomba membangun citra. Hanya memburu reputasi politik agar dianggap berpihak pada nasib buruh. Buktinya, kenaikan UMP tak signifikan. Kata buruh kenaikannya "sekadar pelipur lara". Sama sekali tak mencerminkan keberpihakan.
Saat ini ancaman PHK juga masih mengintai. Para pengamat menyebut tahun 2023 menjadi tahun pemulihan. Namun juga jadi tahun berat bagi dunia usaha.
Banyak perusahaan yang gagal kinerja. Ada dua problem besar yang dihadapi. Pertama ancaman inflasi. Dan kedua Indonesia menghadapi Pemilu dengan kondisi sosial keamanan yang memungkinkan bisa membuat ekonomi labil. (*)