"Jika pendidikan politik dalam parpol berjalan dengan baik maka fenomena kutu loncat bisa diminimalisir," jelasnya.
Sedangkan, pengamat politik UIN Alauddin Makassar, Attock Suharto menyebutkan, jika setiap orang memiliki hak berpolitik sehingga terkadang seenaknya menjadi kutu loncat dengan adanya kebebasan memilih. "Setiap orang memiliki hak politik untuk memutuskan kepada partai politik mana dia akan benaung," katanya.
Untuk itu, tidak masalah bagi setiap politisi jika mesti berpindah-pindah partai. Karena memang, tidak ada aturan yang mengatur tentang batasan-batasan politisi untuk konsisten pada satu partai.
"Solusinya adalah, UU politik atau UU tentang partai politik harus mengatur itu," demikian saran kandidat Doktor ilmu komunikasi politik UIN Alauddin Makassar itu.
Terpisah, pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Sukri Tamma mengatakan, dalam konteks politik tidak ada larangan untuk keluar masuk partai.
"Kita juga harus melihat anggota partai itu, pastinya aktor politik yang memiliki kepentingan. Keberadaan mereka di partai politik untuk mewujudkan jalannya, jika berpindah mungkin saat saat itu kepentinganya tidak cocok lagi sehingga pindah partai lain, dan ini fenomena biasa," ujarnya.
Ia menyebutkan sistem partai di Indonesia sampai saat ini belum ada yang menjunjung tinggi ideologi kuat, sehingga mudah pindah-pindah partai. "Jadi orang bebas pindah-pindah kalau kepentingannya cocok," pungkasnya. (Yadi-Fahrul/Raksul/E)