MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sangat banyak banyak tokoh-tokoh politik maupun masyarakat lainnya ingin ikut andil dalam pesta demokrasi tersebut.
Hanya saja, untuk mendapatkan suara dari masyarakat tentu harus mempersiapkan beberapa hal. Salah satunya dengan mempelajari psikologi politik.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM), Dr Muhammad Daud mengungkapkan, ilmu psikologi politik dapat digunakan untuk mendapatkan suara dari masyarakat sebagai pemilik hak suara.
"Kalau aktor politik ini memahami psikologi, tidak terlalu sulit mereka mendapatkan simpati, pengaruh dan dukungan dari masyarakat pemilih, tanpa menjanji sekalipun tidak perlu," ungkapnya saat mengikuti program podcast di Kantor Rakyat Sulsel, Jumat (4/11/2022).
Muhammad Daud juga menyebut salah satu contoh dalam psikologi politik adalah kepribadian dimensi dalam ketokohan seorang kandidat.
Ia menuturkan, pada masa Syahrul Yasin Limpo terpilih menjadi Gubernur Sulsel. Sosok SYL-sapaan akrabnya memiliki sisi kharisma yang kuat, sehingga dapat memenangkan pemilihan tersebut hingga periode dua periode.
"Saya kagum waktu itu keterpilihan SYL sebagai Gubernur Sulsel di periode pertama dan kedua. Satu poin yang saya dapatkan, merujuk pada psikologi politik yaitu ketokohan. ketokohan seseorang figur kandidat itu sangat tergantung pada dimensi kepribadian, jadi dikajian psikologi politik ada dimensi kepribadian yang dimiliki termasuk karismatik," paparnya.
Muhammad Daud melanjutkan, dalam berpolitik, perilaku atau kepribadian seorang tokoh terbentuk dari pembawaan tokoh itu sendiri.
"Kalau kita melihat konsepnya, itu bawaan. jadi sesuatu itu memang sih tidak bisa dihindari, dalam dunai politik itu ada perilaku2 yang permanen yang mrmang bawaannya seperti itu, seperti aco sombere bawaannya, pak SYL seperti apa," ucapnya.
Bahkan, kata dia, para tokoh politik ini tidak disarankan untuk melakukan perilaku atau kepribadian yang semacam dibuat-buat.
"Malah tidak disarankan melakukan perilaku yang dibuat buat. lebih baik kita tampilkan sosok-sosok tipologi kepribadian kita yang sebenarnya, kalau memang ada hal yang kita nilai bahwa tipologi saya kurang menguntungkan, kita perbaiki," bebernya.
Lebih jauh, Muhammad Daud menambahkan, saat ini banyak partai politik banyak memunculkan tokoh-tokoh yang bukan dari kader internal.
"Akibatnya adalah seringkali partai-partai itu memunculkan figur pemimpin, memilih atau menetukan calon pemimpin atas nama partainya, bukan dari kader internal, mereka hanya menklaim orang orang yang sudah jadi," tuturnya.
Padahal, kata dia, pada masa orde baru hingga akhir orde baru ada 3 partai besar yang memiliki kaderisasi yang bagus, yakni Partai Golkar, PPP dan PDIP.
"Ketika 3 partai menonjol seperti Golkar, PPP, dan PDIP saya meilihat proses kaderisasi itu jalan, kenapa golkar bisa berkuasa di orde baru pada masa kepemimpinan pak Harto. Karena Golkar itu menjalankan proses kaderisasi partai yang bagus, itu dari level pusat, provinsi, kabupaten, kota hingga kecamatan jalan proses kaderisasi. Itu yang tidak jalan sekarang dipartai partai itu," sebutnya.
"Kenapa partai-partai tidak berani mengajukan kader-kadernya sendiri, dengan proses kaderisasi itu yang saya sayangkan," sambungnya.
Lebih jauh, Daud mengemukakan, dari sisi keuntungan di masyarakat atas kepribadian psikologi oleh tokoh politik ini yakni proses penentuan pilihan.
"Dari sisi masyarakatnya terkait dengan calon pemimpin itu dia mendapatkan keuntungan ketika dalam proses penentuan pilihan, ketika dia melihat seseorang yang menurut pertimbangannya baik kalau melihat kepribadiannya baik itu menguntungkan," ucapnya.
"Kalau ini saya pilih (tokoh politik), ini akan menang. Kalau ini menang itu menguntungkan bagi saya karena aspirasi yang bisa saya sampaikan," tutupnya. (Sasa/Raksul/B))