JENEWA, RAKYATSULSEL - Pemerintah Indonesia memaparkan sejumlah keberhasilan dan tantangan dalam pembangunan nasional di bidang HAM selama 5 tahun terakhir di hadapan negara-negara anggota PBB, di Markas PBB di Jenewa, Swiss, Rabu, 9 November 2022 kemarin.
Hal ini disampaikan dalam Persidangan Universal Periodic Review (UPR) Indonesia, yang merupakan siklus ke-4, setelah sebelumnya dilakukan pada 2017.
UPR merupakan forum yang mengedepankan dialog dan kerja sama yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas negara-negara anggota PBB dalam melaksanakan komitmen kemajuan dan perlindungan HAM, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 tahun 2006.
Delegasi Pemerintah RI dipimpin oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, didampingi Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa. Menteri Yasonna menilai UPR merupakan momen penting untuk menunjukan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan HAM di mata dunia.
“Banyak kemajuan yang telah dicapai, namun juga Pemerintah Indonesia tidak mengabaikan adanya sejumlah tantangan, khususnya ketika kita semua menghadapi ujian yang berat dengan adanya Pandemi Covid-19,” demikian ditegaskan Menteri Yasonna di Jenewa.
Menteri Yasonna juga mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi situasi yang unik dan tidak mudah untuk memenuhi komitmen pembangunan HAM. Demokrasi yang terus diuji, datangnya Pandemi, disahkannya berbagai undang-undang dan peraturan, dinamika penegakan hukum, peran masyarakat sipil yang kian dinamis, kondisi geopolitik global dan regional adalah sebagian fenomena yang mewarnai pembangunan nasional di bidang HAM selama 5 tahun terakhir.
Dalam dialog interaktif di Jenewa hari ini yang dihadiri oleh 108 negara anggota PBB dimana Delegasi Indonesia menerima sejumlah pertanyaan dan rekomendasi terkait kebijakan pemajuan HAM. Tercatat sejumlah isu yang menjadi perhatian antara lain isu revisi Kitab UU Hukum Pidana, Isu hukuman mati, isu ratifikasi optional protokol konvensi anti penyiksaan, isu kebebasan beragama dan berekspresi, isu perlindungan terhadap Hak wanita, anak dan disabilitas, serta isu Papua.
Atas pertanyaan dan rekomendasi tersebut, Pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan rekomendasi yang akan diterima untuk ditindaklanjuti dan menjadi bagian penting dari kebijakan HAM nasional selama lima tahun berikutnya.
Pemerintah Indonesia menempatkan Sidang UPR ini sebagai forum penting bagi upaya nasional untuk memenuhi mandat konstitusi dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam hal ini, sejak tahun 2021 proses penyusunan UPR telah dilakukan secara serius dan inklusif, melalui diskusi dan jaring masukan melibatkan Kementerian dan Lembaga pemerintah, Pemerintah Daerah, Lembaga HAM Nasional, akademisi, serta organisasi non-pemerintah (LSM/NGO) dan masyarakat sipil.
Selain Indonesia, pada persidangan UPR bulan November 2022 ini, terdapat 13 negara lainnya yang juga melakukan presentasi UPR yaitu Aljazair, Afrika Selatan, Brazil, Belanda, Bahrain, Ecuador, Finlandia, Filipina, India, Inggris, Maroko, Polandia dan Tunisia.
Delegasi Indonesia dalam Dialog UPR ke-4 ini menyertakan unsur-unsur Kemenko Polhukam, Kemlu, Kemkumham, Setkab, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kemensos, serta Mahkamah Konstitusi. Dialog UPR Indonesia juga dihadiri oleh Lembaga HAM Indonesia seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan, maupun NGO nasional dan internasional, antara lain Kontras, Amnesty International Indonesia, OHANA, Human Rights Watch Group, dan Franciscan International dan lainnya.
Dalam persidangan UPR ini, juga tampak Kepala Kanwil Kemenkumham Sumsel, Harun Sulianto yang turut mengikuti konferensi pers yang dilakukan oleh Menkumham Prof. Yasonna H. Laoly, yang dilaksanakan secara virtual, Rabu (9/11).
Kakanwil Harun Sulianto turut didampingi oleh Kabag Program dan Humas, Gunawan, dan juga Kasubbag Humas, RB, dan TI, Hamsir. (*)