Gelar Dialog Moderasi Beragama, MUI Sulsel Pertemukan Tokoh Lintas Agama

  • Bagikan
Dialog Moderasi Beragama yang diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antar Umat Beragama MUI Sulawesi Selatan, di Hotel Kenari, Makassar, Selasa (29/11).

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sejumlah tokoh lintas agama di Sulawesi Selatan mengikuti Dialog Moderasi Beragama yang diselenggarakan ooleh Komisi Hubungan Antar Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan di hotel Kenari, Makassar, Selasa (29/11).

Ketua Komisi Antar Umat Beragama MUI Sulsel, Prof. Wahyuddin Naro mengatakan kegiatan yang mengangkat tema Bersatu Dalam Keberagaman ini menjadi sangat penting. Menurutnya di tengah munculnya perbedaan pandangan yang dipertontonkan di masyarakat utamanya media sosial dapat saja menimbulkan konflik sosial apalagi menghadapi Tahun Politik 2024.

“Salah satu isu penting adalah munculnya politik identitas yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan pertentangan antara masyarakat dan khususnya pemeluk umat beragama,” ujarnya.

Prof. Wahyuddin Naro menjelaskan bahwa keragaman entitas bangsa baik suku, agama dan antar golongan adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Semua suku, agama, golongan yang hidup di Indonesia adalah pemilik sah republik ini.

“Oleh karena itu, tidak ada salah satu pihakpun suku dan sebagainya yang bisa mengklaim dan meniadakan kelompok lain. Problema persatuan bangsa harus terus menerus dikedepankan karena ia bagian dari pancasila sebagai ideologi bangsa, karena Indonesia ini terlahir dari bangsa, suku, agama, golongan yang dipersatukan,” jelasnya.

Apalagi menurutnya, cita-cita luhur para founding father bangsa ini adalah memelihara dan mempertahankan keutuhan NKRI. Olehnya itu, dialog antar umat beragama menjadi penggerak utama terjadinya kesepahaman di antara anak bangsa.

“Dari kesepahaman itulah akan muncul rasa saling empati dan menghargai dan berwujud dalam kebersamaan dan persatuan. Pemahaman moderat dalam ajaran masing-masing agama dapat menjadi jembatan bagi terjadinya pandangan agama yang terbuka (inklusif) bukan pandangan agama yang kaku (eksklusif) dan menerima manusia/kemanusiaan tanpa syarat,” ungkapnya.

Sementara untuk mengahadapi perubahan-perubahan yang terjadi di dunia yang sangat pesat ini, Prof. Wahyuddin Naro menyebutkan warga agama haruslah memperkuat 3 (tiga) kesadaran yaitu kesadaran spritual, kesadaran kemanusiaan, dan kesadaran keberagaman.

Menurutnya, tiga kesadaran ini akan dapat mengantisipasi munculnya kelompok yang menggunakan simbol-simbol agama dengan mengabaikan nilai-nilai spritualitas sehingga dapat menimbulkan pemahaman agama yang kaku. Pemahaman agama yang lebih menonjolkan simbol-simbol tanpa dibarengi nilai-nilai spritual bisa menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa.

“Kita tidak ingin generasi muda kita terjebak dalam bagian tersebut sehingga menimbulkan faham-faham radikalisme, fundamentalisme dan ekstrimisme. Perjumpaan antara warga agama bisa terjadi karena semua agama didasari pada cinta kasih, peduli, serta keragaman sebagai sebuah kehendak Tuhan,” tambahnya. (*)

  • Bagikan