MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Maraknya pengembalian uang kerugian negara atau yang biasa disebut uang titipan dalam suatu kasus tindak pidana korupsi kepada aparat penegak hukum (APH) menyita perhatian penggiat anti korupsi Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi.
Tercatat dalam satu bulan terakhir, ada dua kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel melakukan pengambilan uang kerugian negara.
Pertama kasus dugaan korupsi Penyimpangan Penetapan Harga Jual Tambang Pasir Laut tahun 2020 di Galesong, Kabupaten Takalar, dan kedua kasus tindak pidana korupsi Penyalahgunaan Honorarium Tunjangan Operasional Satpol PP Kota Makassar tahun anggaran 2017-2020.
Dalam kasus Penyimpangan Penetapan Harga Jual Tambang Pasir Laut tahun 2020 di Takalar, ada pengembalian uang kerugian negara kepada Kejati Sulsel sebanyak Rp4.579.000.000 dari PT. Alefu Karya Makmur.
Sementara kasus Penyalahgunaan Honorarium Tunjangan Operasional Satpol PP Kota Makassar ada pengembalian uang kerugian negara sebesar Rp3,7 miliar. Beredar kabar, uang tersebut berasal dari 27 pejabat di Kota Makassar yang menjabat camat mulai periode 2017 hingga 2020.
Menariknya, mereka yang mengembalikan uang kerugian negara hingga kini tak dilakukan proses hukum lanjutan, padahal menurut ACC Sulawesi mengembalikan uang kerugian negara sama halnya mengakui perbuatannya melakukan korupsi.
"Dengan dia mengembalikan uang tersebut (kerugian negara) itu sama saja dengan dia telah mengakui dia telah korupsi," kata Wakil Ketua Internal ACC Sulsel, Anggareksa PS saat diwawancara, Senin (19/12).
Anggareksa menjelaskan, perlunya penindakan hukum lanjutan kepada orang-orang yang mengembalikan uang kerugian negara atas kasus korupsi sebab sejak awal dia telah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan berdampak kepada masyarakat luas.
"Dampak dari korupsinya sudah terjadi dan masyarakat telah dirugikan, jadi berdasarkan pertimbangan hal tersebut maka APH harusnya lebih fokus mengusut," ujar dia.
Fenomena pengembalian uang kerugian negara disebut itu bisa menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum dalam memberantas pelaku korupsi di negara ini. Apalagi jika mengacu pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 maka jelas pengembalian kerugian negara tak menghapus pidana seseorang yang terlibat kasus korupsi.
"Kalau hukumannya ditiadakan ini akan menjadi presiden buruk bagi penegakan hukum. Kenapa pelaku korupsi kita tidak lihat seperti pelaku pencurian, atau perampokan. Kenapa tindak pidana lain ketika barang buktinya atau kerugian korban telah dikembalikan itu tetap di proses, sedangkan kasus korupsi jelas merugikan masyarakat luas tetap dia tidak di proses. Inikan ada ketidak adilan," terangnya.
Kasi Penkum Kejati Sulsel, Soetarmi menjelaskan pihaknya memang fokus pada pengembalian uang kerugian negara, namun bukan berarti kasusnya dihentikan.
"Kita liat karena proses ini masih berjalan, yang jelas Kejaksaan punya metode tersendiri yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum terhadap kasus ini," ujar Soetarmi sebelumnya. (Isak Pasabuan/Raksul/B)