"Dengan kata lain jangan sampai parpol hanya merekrut caleg perempuan sekedar untuk memnuhi persyaratan administratif dari KPU," ungkap Asratillah.
Kedua, sambung dia, caleg perempuan yang direkrut mesti dibekali dengan segala perangkat yang bisa mendongkrak capaian elektoral mereka. Seperti kapasitas komunikasi politik, menopang mereka dengan data survei, mensubsidi para caleg perempuan dalam hal pengadaan atribut.
"Hingga membukakan akses untuk berkoordinasi dengan infrastruktur parpol di tingkat bawah," tuturnya.
Poin Ketiga kata dia, parpol mesti memastikan caleg perempuan yang terpilih mesti memperjuangkan segala bentuk kebijakan yang mendorong kesetaraan gender. Serta peningkatan kesejahteraan anak dan perempuan.
Sedangkan, Direktur Celebes Research Center (CRC) Herman Heizer mengungkap parpol wajib bisa menempatkan perempuan minimal 30 persen dapil untuk caleg nantinya.
"Untuk syarat 30 persen kalau kita melihat perempuan dapat mendongkrak suara, kan selama ini mereka tak hanya pelengkap saja," kata Herman.
Lebih jauh, sambung Herman, jika dilihat perbandingan dari Pemilu caleg perempuan ini semakin menunjukkan eksistensinya. Tidak hanya sekedar menggunakan kuota 30 persen tetapi juga mampu bersaing dengan sehat.
Tidak jarang di jumlah presentasinya sekiranya 2014-2019 ada kenaikan dan Dalam hal tadi tapi level tertentu. Sedangkan perempuan bisa mendapatkan suara yang banyak dari laki-laki.
"Jadi, saya melihat semakin tumbuh kesadaran politik perempuan. Kalau politisi kita melahirkan politisi yang berkualitas, tidak hanya sekedar memenuhi kuota atau mengumpulkan suara. Tapi bisa bersaing secara signifikan dengan anak laki-laki," jelasnya.