MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Rizal Pauzi, menilai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) terbaru Nomor 2559/XII/Tahun 2022 yang mengatur tarif sewa angkutan khusus atau taksi online cacat administrasi.
Akademisi yang selama ini cukup intens menyoroti kebijakan tarif taksi online menyebut Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Sulsel tidak jeli melihat siapa saja stakeholder yang harusnya dilibatkan dan dimintai pendapat dalam proses penetapan kebijakan ini.
"Kebijakan ini harus representatif dan melibatkan konsumen dan pengemudi secara umum. Ada banyak komunitas pengemudi yang menolak karena harga terlalu tinggi, jangan hanya mempertimbangkan suara dari satu komunitas saja," ungkap Rizal.
"Keterlibatan konsumen juga minim, saat rapat pembahasan beberapa waktu lalu, YLKI memang hadir, tapi sejauh ini belum ada hasil penelitian YLKI yang dapat menjadi dasar pertimbangan kenaikan tarif taksi online tersebut," imbuhnya.
Tidak hanya itu, tarif batas atas yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Sulsel jauh melampaui tarif batas atas yang diatur Permenhub Nomor 118 tentang Tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus.
Akademisi milenial ini juga mengatakan sosialiasi dan pihak yang dilibatkan dalam proses penetapan tarif taksi online skala Provinsi ini baru mencakup wilayah Makassar saja.
"Ini kan kebijakan level provinsi, harus jelas prosesnya. Bukan cuma Makassar yang ada taksi online, tapi ada juga di Gowa, di Maros, harusnya itu disosialisasikan juga. Tapi itu tidak dilakukan Dishub," ujarnya.
Rizal juga menyoroti dasar penetapan tarif yang dinilai tidak sesuai. Dalam Keputusan tersebut yang tertulis. "Memperhatikan: Telaah Staf Kepala Dinas Perhubungan Nomor: B.2025/Dishub/551/2022 tanggal 29 November 2022 perihal Penyesuaian Tarif Angkutan Sewa Khusus".
"Padahal bukan angka itu yang sebelumnya dipresentasikan Dishub saat rapat perumusan. Hitungan BOK (Biaya Operasional Kendaraan) ATP dan WTP yang mereka peroleh bahkan jauh lebih rendah," katanya.
Dalam paparan Dishub sebelumnya tertulis ATP (Ability to Pay) masyarakat terhadap taksi online hanya Rp1.479 dan WTP (Willingness to Pay) berada di angka Rp4.773 per kilometer. Sedangkan berdasarkan analisis biaya langsung dan tidak langsung pengemudi taksi online oleh Dishub, tarif batas bawah berada di angka Rp5.200 dan tarif batas atas Rp6.500.
"Kok tiba-tiba tarif batas atas yang ditetapkan Rp7.485,84? Dari mana angka ini? Jika belum memungkinkan menggandeng lembaga riset independen, saya pikir riset mereka dulu lah dipakai. Ini bahkan hasil riset Dishub sendiri pun tidak digunakan, kasian juga mubazir, ini saya bilang memalukan," tandasnya.
Terkait hal ini, sejumlah komunitas, mulai dari kalangan mahasiswa, konsumen dan juga pengemudi taksi online dikabarkan akan melayangkan aduan ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi dalam penetapan kebijakan tarif taksi online. "Ombudsman dapat menindaklanjuti, benar tidak kajiannya," ujar Rizal.
Melihat banyaknya kesalahan administrasi dalam perumusan kebijakan ini, serta banyaknya penolakan dari stakeholder, Rizal meyakini besar peluang untuk meminta Pemprov melakukan peninjauan ulang.
"Keputusan ini baru masuk tahap sosialisasi, kalau ada banyak penolakan masyarakat, ini seharusnya bisa dievaluasi. Sebab proses evaluasi Keputusan Gubernur itu tidak terlalu lama, kalau menurut gubernur perlu dievaluasi, maka bisa segera dievaluasi," pungkasnya.
Sebelumnya Pemprov Sulsel menetapkan aturan baru tarif taksi online untuk wilayah Makassar dan 23 daerah lainnya. Biaya tarif batas bawah kini menjadi Rp5.444,24 per kilometer dan tarif batas atas Rp7.485,84 per kilometer. Aturan ini ditetapkan pada 16 Desember 2022 dan akan resmi berlaku mulai 27 Desember. (*)