Anggaran Pemilu dan Asa Rakyat

  • Bagikan

OLEH: GUSTI PALUMPUN
JURNALIS

2019 kita menghabiskan Rp25 triliun untuk Pemilu. Desember 2020 ada pilkada serentak. Perputaran uang selama hajatan itu menembus Rp40 triliun. Lalu Pemilu 2024 diestimasi akan menyedot anggaran Rp76 triliun.

Jika melihat angka-angka ini, tak masuk akal rasanya kalau kita disebut sedang krisis. Sebab untuk sebuah pesta demokrasi saja, nilai yang digelontorkan begitu fantastis. Dari tahun ke tahun anggaran Pemilu juga terus membengkak.

Lalu apa yang kita raih dari pesta demokrasi dengan cost gemuk itu? Di sinilah poin kritisnya.

Soal berapa anggaran yang habis, bukan hal yang luar biasa. Setiap perhelatan untuk sebuah tujuan mulia, berapapun anggaran yang habis tak masalah. Yang jelas kita bisa sampai pada tujuan akhir.

Yakni mencetak demokrasi yang berwibawa. Berkualitas. Dan pada ujungnya melahirkan kemakmuran. Itulah tuntutan rakyat.

Lantas apakah Pemilu telah membawa kita ke sana? Jawabnya belum. Harus diakui, kita masih jauh dari tujuan sebuah demokrasi. Kita belum menemukan pelabuhan yang benar benar indah.

Demokrasi kita masih banyak melahirkan kecurangan. Entah itu dari sisi mana. Kedua, kedewasaan rakyat dalam berpolitik masih sedang diuji. Utamanya dalam melawan politik uang.

Di parlemen juga masih hadir wakil wakil rakyat yang bermental korup. Begitu juga kepala daerah yang lahir dari rahim reformasi, banyak yang terjerat korupsi. Angka angka ini membuat indeks persepsi korupsi kita terus jeblok.

Suka atau tidak suka inilah yang bisa kita hasilkan sekarang dengan cost Pemilu yang triliunan rupiah.

Masih adakah harapan untuk berubah? Selalu ada asa. Tetapi tidak mudah. Kita butuh kerja keras. Kita butuh kedewasaan yang lebih untuk sampai pada politik yang menyejahterakan.

Seluruh komponen pelaksana Pemilu punya tanggung jawab moral. KPU sebagai leading sektor inti tak hanya dituntut melaksanakan seremonial Pemilu. Tetapi ada hakekat yang lebih prinsipil yang dituntut rakyat.

Itulah kejujuran. Integritas. Lalu edukasi politik yang sehat. Dari poin ini KPU dituntut melahirkan proses demokrasi yang adil, bermartabat dan menjunjung nilai nilai kejujuran. Demokrasi tidak boleh lagi sekadar memburu suara terbanyak untuk menang.

Tetapi haruslah menjadi titik awal yang membawa kita pada kehidupan yang lebih baik. Bukankah tujuan politik adalah kesejahteraan? Karena itulah anggaran triliunan tidak berarti apa-apa jika tujuan demokrasi benar benar tercapai.

Begitu pun sebaliknya, rakyat tentu tidak rela anggaran besar itu disedot, dan justru hanya melahirkan pemimpin korup.

Ketika kita menghadapi krisis pandemi, pemerintah menggelontorkan ratusan triliun. Namun angka itu tak berarti karena akhirnya bisa keluar dari masa masa kelam itu. Kita bisa mengatasi pandemi, meski dengan pengorbanan yang luar biasa.

Krisis Corona menyedot lebih dari 70% anggaran. Dua sektor vital, infrastruktur, pendidikan terpaksa dikorbankan. Hampir 50% proyek infrastruktur di Tanah Air dihentikan. Pendidikan juga menerima imbas besar. Di sektor ini anggaran dialihkan untuk menalangi darurat Corona.

Sektor-sektor alternatif juga terhenti total. Hanya ada dua yang menjadi konsen pemerintah. Yakni penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi.

Begitu banyak yang kita korbankan. Tapi semua tak sia-sia. Kita menikmati perjuangan itu hari ini. Nah begitulah harusnya Pemilu. Kita berkorban banyak, tetapi membawa kita pada sebuah ujung yang indah. (*)

  • Bagikan