MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi mencatat ada 11 daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang marak terjadi tindak pidana korupsi keuangan desa sepanjang tahun 2022.
Daerah-daerah yang masuk catatan ACC Sulawesi itu diantaranya Bulukumba 1 kasus, Maros 1 kasus, Pinrang 1 kasus, Soppeng 2 kasus, Selayar 2 kasus, Takalar 2 kasus, Bantaeng 2 kasus, Wajo 2 kasus, Toraja Utara 3 kasus, Luwu Timur 4 kasus, dan terbanyak Gowa 6 kasus.
Sementara 13 daerah lainnya seperti Kabupaten Barru, Bone, Enrekang, Jeneponto, Luwu, Luwu Utara, Pangkep, Sidrap, Sinjai, Tana Toraja, Makassar, Parepare, dan Palopo tidak terdapat tindak pidana korupsi keuangan desa.
"Dari 11 daerah dengan total 27 perkara menimbulkan kerugian negara sekitar Rp18,6 miliar," ujar Wakil Ketua Eksternal ACC Sulawesi, Hamka saat diwawancara, Rabu (4/1/2023).
Meski ada beberapa daerah yang tidak terjadi tindak pidana korupsi di tahun 2022 bukan berarti tren tindak pidana korupsi di Sulsel menurun. Hamka menjelaskan dari catatan ACC Sulawesi perkara korupsi di Sulsel meninggi sepanjang tahun 2022. Dan, angka perkara 2022 jauh lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun 2022 kasus korupsi di Sulsel ada 114 perkara, 55 kasus, dan 121 terdakwa dengan kerugian keuangan negara secara keseluruhan Rp86,3 miliar. Jumlah perkara dan kerugian negara tahun ini jauh lebih tinggi daripada dua tahun sebelumnya 2021.
Tercatat pada tahun 2021 ada 99 perkara dengan kerugian keuangan negara sekitar Rp58,5 miliar. Dan di tahun 2020 sebanyak 80 perkara dengan kerugian keuangan negara sebanyak Rp59,17 miliar.
"Justru dari data kami (ACC) tren kasus korupsi di Sulsel dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan," terangnya.
Hamka melanjutkan, kasus korupsi masih saja marak terjadi sebab pola penanganan atau penindakan pelaku korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) seperti kejaksaan dan kepolisian belum maksimal.
"Kinerja aparat penegak hukum dalam penindakan kasus korupsi sangat rendah. Dalam catatan ACC Sulawesi banyak kasus korupsi yang hanya semangat diawal namun penanganannya tidak jelas dan akhirnya mandek," ujarnya.
Selain itu ACC juga melihat, APH dalam penindakan kasus tidak pidana korupsi belum dijadikan sebagai agenda prioritas. Hal itu terbukti dari masih banyaknya kasus korupsi yang mandek, vonis ringan, hingga vonis bebas terdakwa korupsi.
Sepanjang tahun 2022 putusan paling tinggi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi yaitu 9 tahun denda Rp50 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Kemudian putusan rendah itu 1 tahun denda Rp50 juta subsider 1 bulan dan putusan bebas ada 11 terdakwa.
"Putusan paling tinggi tahun 2022 itu kasus RS Batua Makassar, kemudian putusan rendah itu ada beberapa kasus salah satunya Alat Peraga Imtaq Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa, dan yang putus bebas itu pengadaan tanah untuk pembangunan Bandara Buntu Kuni, Mengkendek, Tana Toraja dan kasus Komite Iuran Sekolah SMA 1 Luwu Utara, dan beberapa kasus lainnya," pungkasnya. (isak/B)