MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Tahun politik adalah tahun yang dinamis. Tahun dimana dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami fluktuasi. Perubahan bisa terjadi secara cepat dan tak terduga. Problem bisa muncul tanpa rencana. Kadang bisa massif dan dekonstruktif bila salah ditangani.
Tahun politik juga adalah tahun dimana elit terbelah dan terdeferensiasi. Tahun dimana kebenaran dan keburukan bersatu. Hoaks menyebar bagai banjir tak terbendung, produksi wacana silih berganti secepat kilat.
Isu-isu bertabrakan antara satu dengan yang lainya, sehingga memang memerlukan kemampuan adaptif dan analisis yang kuat untuk menghadapinya.
Dalam konteks inilah, Polri diletakkan sebagai jantung untuk menciptakan harmoni dan keteraturan. Polri dituntut untuk mengayomi secara adil dan proporsional, tak berpihak kepada warna politik manapun.
Untuk menghadapi masalah ini, setiap anggota Polri ditekankan untuk memahami makna PRESISI yang telah menjadi jargon di tubuh Polri.
Di tahun politik ini, PRESISI menempati posisi sentral bagi persatuan, keamanan dan ketertiban seluruh elemen masyarakat. Ada tiga makna PRESISI yang harus diterjemahkan secara dinamis di tahun politik ini.
Pertama,Setiap Anggota Polri harus memiliki kemampuan prediktif. Kemampuan prediktif diperlukan dalam menganalisa perubahan dan dinamika politik yang berkembang sedemikian cepat.
Polri secara umum mesti meletakkan fragmen tertentu untuk memastikan, bahwa setiap peristiwa tidak saja dilihat sebagai peristiwa tunggal. Selain memandangnya secara holistic, juga harus bisa memprediksi beberapa kemungkinan dari suatu peristiwa. Apalagi bila peristiwa politik ke depan melibatkan elit yang berkompetisi, maka kemapuan analisa dan prediksi sangat diperlukan.
Untuk memperkuat basis analisa dan memastikan prevalensi kebenaran prediksi atas suatu peristiwa, Polri harus memperkuat data intelijen. Dengan data intelijen yang kuat, maka analisa dan prediksi memiliki akuntabilitas yang kuat.