MAKASSAR, RAKYATSULSEL- Masa kampanye pada Pemilihan Umum 2024 hanya akan berlangsung 75 hari. Ujian bagi partai baru dalam menerapkan taktik dan strategi untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas.
Partai politik peserta Pemilu 2024 tak punya waktu yang panjang untuk "menjual" program politiknya ke calon pemilih. Sedini mungkin, bila ingin lebih cepat dikenal, partai politik -utamanya partai baru- harus langsung tancap gas saat masa kampanye mulai berlangsung.
Masa kampanya Pemilu 2024 memang terbilang singkat. Hal ini berbeda dengan kampanye pada Pemilu 2014 yang menyita waktu selama 15 bulan dan Pemilu 2019 mencapai enam bulan tiga pekan.
Adanya pemangkasan masa kampanye tersebut mempengaruhi partai baru dalam melakukan pengenalan atau sosialisasi ke calon pemilih, khususnya di Sulawesi Selatan. Sebut saya, Partai Buruh yang pada Pemilu mendatang mendapat nomor urut enam.
"Masa kampanye 75 hari sangat pendek bagi partai kami yang baru," kata Ketua Partai Buruh Sulsel, Akhmad Rianto, Rabu (18/1/2023).
Menurut Akhmad, masa tersebut dinilai sebagai bagian dari ketidakadilan bagi mereka, dibanding partai-partai yang sudah lama. Menurut dia, terbatasnya waktu tak memungkinkan untuk menyampaikan visi dan misi Partai Buruh sampai ke pelosok desa-desa.
"Apalagi kepengurusan kami juga masih terbatas. Sosialisasi dan kampanye ke akar rumput tidak bisa bagi partai Buruh sebagai pendatang baru," imbuh dia.
Dia mengatakan, sebagai pendatang baru, jangka waktu kampanye seharusnya bisa lebih panjang. Minimal, kata Akhmad, enam bulan seperti pada Pemilu 2019.
"Dalam Undang-undang 17 Tahun 2017 tentang Pemilu juga tidak spesifik mengatur tentang jadwal kampanye. Pembatasan waktu itu hanya inisiatif penyelenggara," ujar dia.
Akhmad menuturkan bila mau menyelenggarakan pemilu yang berkeadilan, jujur, dan bermartabat, seharusnya masa kampanye harus diberikan lebih panjang agar kualitas demokrasi bisa terjamin. Apalagi, kata dia, rakyat akan hati-hati dalam memilih partai dan mencermati program-program yang ditawarkan.
Sementara Ketua Partai Solidaritas Indonesia Sulsel, Affandy Agusman Aris tidak mempermasalahkan masa kampanye 75 hari. Menurut dia, waktu itu sudah cupuk ideal bagi PSI.
"Kampanye dengan durasi panjangan akan menelan ongkos politik yang banyak. Dengan 75 hari yang telah ditetapkan membuat partai yang sudah lama memperkenalkan dirinya tidak menjadi masalah," kata Affandy.
PSI merupakan peserta Pemilu 2019. Tapi, di Sulawesi Selatan, tak satupun kader yang mampumeraih kursi parlemen di kabupaten, kota, maupiun provinsi. Menurut Affandy, hasil 2019 tidak menjadi ukuran bagi PSI, khususnya soal masa waktu kampanye. Dia mengatakan, perkembangan teknologi digital saat ini akan dimanfaatkan untuk sosialisasi secara efektif.
"Kami memanfaatkan media sosial untuk mendekati calon pemilih," imbuh dia.
PSI, kata Affandy, akan membentuk tim media untuk memperkenalkan diri ke masyarakat. Dia mengatakan, seluruh kader PSI memiliki jejaring media sosial yang bisa diandalkan sebagai mesin politik.
Adapun, Sekretaris Partai Gelora Sulsel, Mudzakkir Ali Djamil mengatakan walau masa kampanye hanya 75 hari, pihaknya sudah mulai menyiapkan strategi untuk bisa lolos ambang batas dan mendudukan kadernya sebagai wakil rakyat.
"Bagi kami di Partai Gelora, menyiapkan strategi pada setiap skenario kampanye demi meraih simpati pemilih," kata Mudzakkir.
Dia mengatakan, singkatnya masa kampanye menjadi tantangan tersendiri bagi Partai Gelora. Dia mengatakan, seluruh kader telah diminta untuk bekerja secara efektif untuk memperkenalkan program partai dan kader-kader yang akan maju sebagai calon anggota legislatif.
"Intinya, kader diminta untuk dengan cepat meyakinkan masyarakat untuk memilih Partai Gelora," ujar dia.
Dia mengatakan, tak ada pilihan lain bagi kader Gelora untuk gencar memanfaatkan media sosial dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat. Mudzakkir mengatakan, sejak dini pihakya telah masif melempar program-program partai yang ditawarkan ke masyarakat.
Ketua Partai Perindo Sulsel, Sanusi Ramadhan menyatakan, tidak mempermasalahkan masa kampanye yang hanya 75 hari. Menurut dia, waktu sesingkat itu akan bermanfaat bagi calon dan partai yang mempergunakan dengan baik untuk mendekati pemilih.
"Saya kira tidak masalah dan ini menuntut partai dan bacaleg untuk benar-benar memanfaatkan waktu yang tersedia," ujar Sanusi.
Meski begitu, Sanusi tetap menilai 75 bukanlah waktu yang panjang. Dia menambahkan, ke depan ada berbagai macam hal perlu dilakukan dari parpol dan juga caleg untuk bersosialisasi ke masyarakat.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Andi Luhur Prianto mengatakan secara realitas politik. pengenalan atau sosialisasi partai dan caleg telah dilakukan jauh sebelum masa kampanye. Metodenya, kata dia, bisa bermacam-macam.
"Penyelenggara hanya bisa mengatur masa kampanye formal, tetapi aksi soft-campaign tidak bisa dikendalikan. Bahkan soft-campaign itu terintegrasi dengan program-program pemerintah dari partai politik yang sedang berkuasa," kata Luhur.
" Adapun partai politik baru, mereka pun ada yang ikut kampanye terselubung atau kampanye terbuka menggunakan media sosial atau kanal frekuensi publik," sambung dia.
Luhur menyebutkan lama waktu kampanye bukan faktor utama yang memicu keterkenalan partai di masyarakat. Dia mengatakan,masa waktu kampanye ini punya konsekuensi bagi partai politik dan pemilih.
"Bagi partai politik ada plus-minusnya. Plusnya adalah akan menguntungkan elit partai-partai mapan dan sedang berkuasa. Mereka relatif bisa dan telah membangun engagement dan bahkan soft-campaign dengan memanfaatkan sumber daya kekuasaan," imbuh dia.
Pemangkasan waktu kampanye sebenarnya bisa menjadi instrumen dalam menurunkan biaya politik. "Dengan prasyarat bahwa belanja kampanye juga bersifat transparan dan akuntabel," lanjutnya.
Sementara minusnya adalah tokoh-tokoh baru yang potensial akan terbatas waktunya melakukan pemasaran politik pada pemilih. "Mereka memiliki waktu yang terbatas dalam bersosialisasi," ucapnya.
Bagi pemilih, mereka bisa kekurangan akses menilai dan mendekatkan diri ke caleg yang akan mewakili aspirasi politiknya. "Meskipun penggunaan platform dan media kampanye yang tepat dan beragam, bisa saja mengatasi keterbatasan waktu yang tersedia itu," imbuh dia.
Pengamat politik dari Universitas Bosowa Makassar, Arief Wicaksono berpandangan bahwa waktu 75 hari kampanye membuat calon dan partai akan bekerja keras. Bukan hanya menghemat waktu melainkan akan maraton ke sejumlah titik lokasi yang telah ditentukan.
"Karena kantong-kantong suara di kecamatan atau kelurahan harus didatangi untuk temui warga. Apalagi kalau calon gubernur atau capres. Pasti butuh waktu dan tidak cukup 75 hari untuk keliling," ujar Arief.
Menurut dia, butuh waktu yang panjang untuk kampanye, mengingat pelaksanaan Pemilu 2024 dilaksanakan serentak antara pemilihan presiden dan calon anggota legislatif, baik DPR, DPD, ditambah DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
"Tentu saja, durasi yang sempit akan menutup ruang dialog bagi para kandidat dan pemilih sehingga banyak lokasi tak bisa dijangkau oleh calon," tuturnya.
Dia pesimistis waktu 75 hari itu memungkinkan calon presiden dan wakil presiden mendialogkan gagasannya dari Sabang sampai Merauke. Ditambahkan, KPU, Bawaslu dan DPRD serta pemerintah selaku pemangku kepentingan harus memastikan pelaksanaan pemilu dapat diatasi dengan skema waktu yang panjang dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
"Selain itu, dibutuhkan rasionalisasi yang ideal dalam membuka ruang kampanye dalam tahapan Pemilu 2024," ujar Arief.
Adapun, Manager Strategi dan Operasional Lembaga Survei Jaringan Suara Indonesia (JSI), Nursandy Syam mengatakan, masa kampanye yang terhitung kurang dari tiga bulan perlu direspons dengan strategi dan program yang efektif oleh partai-partai baru. Salah satunya, menata komposisi caleg yang kompetitif agar bisa memperoleh suara yang signifikan.
"Fase ini memang bukan perkara mudah, tapi menjadi keharusan bagi partai baru untuk menjaga harapan elektoral," kata Nursandy.
Dia menilai, masa kampanye dengan durasi singkat akan membuat calon dan partai mau tak mau harus bekerja keras. Melalui pendalaman visi dan misi serta dialog yang interaktir antara pemilih dan calon kandidat yang ruangnya hanya dimungkinkan tersedia dalam tahapan kampanye.
"Seharusnya durasi kampanye diberikan porsi waktu yang banyak dalam pelaksanaan pemilu supaya publik mengenal calon dan visi misi mereka," ujar Nursandy.
Dalam perspektif pemilih, setidaknya masa kampanye adalah masa yang paling membuka ruang bagi pemilih untuk mengenal, mencerna, serta mengkritisi gagasan para kandidat melalui visi dan misi yang dibangun sebelum kemudian menetapkan pilihannya.
"Jika ada calon pendatang baru, apalagi maju pilkada, butuh proses mengenal dan mempelajari visi-misi para calon kandidat tidak cukup," jelasnya.
Sementara itu, Ketua KPU Sulsel, Faisal Amir mengatakan hingga saat ini belum ada PKPU terbaru soal masa kampanye. Dengan begitu, kata dia, masih menunggu aturan dari KPU RI.
"PKPU terbaru belum ada, tapi tahapan harus tetap berjalan," ujar Faisal.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu mengatur waktu tahapan untuk kampanye. Dalam Perppu, masa kampanye tetap 75 hari sesuai UU Pemilu. Namun ada penambahan waktu untuk persiapan distribusi logistik.
"Dari KPU belum ada PKPU. Pemerintah dan DPR menyampaikan masa kampanye ini guna proses Pemilu 2024 menjadi lebih murah, namun tetap efektif sehingga ada pertimbangan untuk memangkas masa kampanye," ujar Faisal. (*)