PB Nahdlatul Ulama, Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa

  • Bagikan

JAKARTA, RAKYATSULSEL - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum dan Pendidikan Mohamad Syafi Alielha menilai, permintaan perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) terlalu berlebihan. Menurut dia, tuntutan tersebut justru menunjukkan keserakahan atas kekuasaan.

“Undang-undang (UU) sekarang mengatur masa jabatan enam tahun (satu periode) dan kalau tidak salah bisa tiga kali. Itu sudah sangat cukup.

Prinsip demokrasi dan good governance mensyaratkan adanya pembatasan kekuasaan,” katanya saat dihubungi Republika, Rabu (25/1).

Syafi melanjutkan, semakin lama sebuah kekuasaan, bukan berarti semakin baik untuk demokrasi dan kepentingan masyarakat.

Kekuasaan yang berlebihan justru akan cenderung mengarah pada terpusatnya kekuasaan hanya kepada beberapa pihak. “Dan akan membuat kekuasaan menyimpang dari tujuan kebaikan bersama,” kata Syafi.

Dia menambahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengurusi 200 juta orang lebih dari Sabang sampai Merauke saja, berdasarkan semangat reformasi, dibatasi hanya dua periode dengan masa jabatan per periode lima tahun.

“Apalagi kepala desa yang hanya mengurusi ribuan orang. Menurut saya, undang-undang sekarang sudah lebih dari cukup,” ujar dia.

Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Power, Ikhwan Arif, menilai, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa sangat kental dengan muatan politis, terutama dalam menyambut Pemilu 2024.

Ia melihat ada hasrat penguasa di daerah untuk melanggengkan kekuasaannya, tapi urgensinya tidak jelas.

“Ini tidak lebih dari bentuk keinginan oligarki kecil yang tumbuh di daerah dan berusaha untuk menggerogoti proses demokrasi di tingkat daerah,” kata ikhwan.

Ikhwan melihat, cara demokrasi di daerah tergerus oleh keinginan segelintir elite penguasa di daerah dan bukan mewakili kepentingan rakyat langsung.

“Kita bisa melihat siapa saja aktor-aktor intelektual dibalik tuntutan itu. Sekarang peran penting ada di tangan DPR, mau disahkan atau tidak (revisi UU Desa),” kata Ikhwan.

Menurutnya, jika kepala desa memiliki program kerjanya bagus dan kinerjanya baik, tentu akan dipilih lagi oleh penduduk desa. Sebaliknya, jika kepala desa program kerjanya tidak tuntas atau kinerjanya tidak baik kemudian menuntut memperpanjang masa jabatan, tentu tidak tepat.

“Menurut saya hal ini harus dipertimbangkan oleh anggota DPR dalam proses legislasi sebelum disahkan,” ujar Ikhwan.

Ikhwan mengatakan, wacana perpanjangan masa jabatan ini terkesan dipaksakan dan bukan mengatasnamakan keinginan langsung dari arus bawah akar rumput.

Menurutnya, perpanjangan masa jabatan kades bukan kehendak rakyat. Ia berharap, sebaiknya kepala desa menunjukkan kepemimpinan yang taat dan patuh pada batasan-batasan kewenangan dalam menjalankan kedaulatan rakyat.

“Jika kepala desanya bagus dan menaati batasan-batasan kewenangan berkuasa, yaitu berdasarkan aturan undang-undang yang sudah ada, demokrasi di daerah juga bagus, otomatis akan menjadi tolok ukur dalam kemajuan demokrasi dalam skala nasional,” ujar dia.

Ikhwan khawatir, jika wacana ini akan disetujui DPR dan pemerintah, akan menjadi alat politik. Sebab, kata dia, potensi besar wacana ini diterima karena waktunya sangat dekat dengan Pemilu 2024. Menurutnya, kades punya pengaruh besar dalam konstelasi pemilu.

Tuntutan kades beberapa waktu lalu yang meminta perpanjangan masa jabatan tak sepenuhnya disetujui pemimpin desa yang lain di Tanah Air.

Beberapa kades menilai, perpanjangan satu periode masa jabatan dari enam menjadi sembilan tahun justru banyak dampak negatif yang ditimbulkan.

  • Bagikan

Exit mobile version