Eks Kasatpol PP Makassar Didakwa Korupsi Rp4,8 Miliar

  • Bagikan
SIDANG PERDANA. Mantan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kota Makassar, Iman Hud menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Jalan R A Kartini, Senin (30/1/2023). Foto: ISAK PASA'BUAN/RAKYATSULSEL.

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mantan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kota Makassar, Iman Hud menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Jalan R A Kartini, Senin (30/1/2023) atas kasus dugaan korupsi yang menjeratnya.

Iman Hud bersama salah salah satu terdakwa lainnya yakni Abdul Rahim, selaku mantan Kasi Pengendali dan Operasional Satpol PP Kota Makassar dihadirkan secara virtual dalam sidang.

Sidang korupsi atas kasus dugaan penyalahgunaan honorarium atau honorarium fiktif tunjangan operasional Satpol PP Kota Makassar di 14 kecamatan sejak 2017-2020, dipimpin oleh Ketua Hakim Purwanta dan anggota hakim Royke Harold Inkiriwang dan Ariyawan Arditama.

Dalam dakwan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel, Nining menyebut bahwa terdakwa Iman Hud, Abdul Rahim, dan almarhum Muhammad Iqbal Asnan telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

Mereka didakwa telah menyalahgunakan jawabannya dalam pengelolaan anggaran itu. Total kerugian negara senilai Rp 4,8 miliar. "Terdakwa telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau penunjukannya selaku Kepala Seksi Operasi dan Pengendalian Satpol PP Makassar,” kata JPU saat membacakan dakwaan.

Terdakwa dianggap telah melawan hukum dengan menyisipkan 123 nama personel Satpol PP Kota Makassar ke dalam surat perintah penugasan kegiatan Patroli Kota (Patko), Keamanan dan Ketertiban Umum (Kamtibum) dan Pengendalian Massa (Dalmas) yang anggarannya bersumber pada DPA Satpol PP Kota Makassar tahun anggaran 2017 sampai dengan tahun 2020.

Termasuk pada kegiatan pengawasan dan pengamanan ketertiban umum kecamatan yang anggarannya bersumber pada DPA 14 SKPD Kecamatan se-Kota Makassar tahun anggaran 2017 sampai dengan 2020. Terdakwa disebut merancang seakan-akan personil tersebut bertugas di kecamatan atau bertugas di kegiatan Balaikota Makassar.

Konsep draft surat perintah tersebut langsung ditandatangani oleh terdakwa Iman Hud selaku Kasatpol PP Kota Makassar saat itu, selanjutnya surat perintah tersebut menjadi dasar pembayaran honorarium baik dari dana yang bersumber dari DPA Kecamatan maupun dari DPA Satpol PP Kota Makassar.

"Setelah honorarium dibayarkan Abdul Rahim kemudian menghubungi anggota Satpol PP yang namanya telah disisipkan dalam surat perintah tersebut untuk menyerahkan atau menyetorkan uang honorarium tersebut kepadanya, juga kepada terdakwa almarhum Iqbal Asnan," sebutnya.

"Sehingga tersangka telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp4,8 miliar sebagaimana laporan hasil audit Inspektorat Daerah Provinsi Sulsel," sambungnya.

Atas perbuatan kedua terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP.

“Primernya melanggar Pasal 2 ayat 1 tentang UU Tipikor lalu subsider Pasal 3 UU Korupsi dan alternatif yang kedua Pasal 12 E. Kedua terdakwa sama dakwaannya juncto 55 dan 64 berlanjut,” pungkasnya.

Kuasa hukum terdakwa Iman Hud, Abdul Goffur meminta kliennya dihadirkan langsung dalam sidang lanjutan kasus korupsi dugaan penyalahgunaan honorarium atau honorarium fiktif tunjangan operasional Satpol PP Kota Makassar di 14 kecamatan sejak tahun 2017 hingga tahun 2020.

Abdul Goffur menyampaikan agar kliennya dihadirkan secara langsung pada sidang selanjutnya yang jadwalnya digelar pekan depan, Senin 6 Februari 2023.

Selain itu, permintaan lain yang disampaikan Goffur kepada hakim yaitu meminta agar kliennya diberikan penangguhan penahanan.

"Izin yang mulia, kami selaku kuasa hukum terdakwa pak Iman Hud meminta agar klien kami diberikan penangguhan penahanan, juga kami meminta dalam sidang selanjutnya klien kami dihadirkan dalam sidang secara offline (hadir langsung)," kata Goffur dalam sidang perdana kasus ini di PN Makassar, Senin (30/1/2023).

Goffur menjelaskan, permintaan agar kliennya dihadirkan secara langsung dalam sidang selanjutnya dikarenakan beberapa alasan. Pertama, sidang yang dilaksanakan dengan virtual atau online dianggap memiliki banyak masalah, mulai dari jaringan yang kadang bermasalah sehingga dapat menghambat dan mempengaruhi penjelasan terdakwa.

Alasan lain kliennya diminta dihadirkan secara langsung agar dapat menjelaskan terkait adanya dugaan pemalsuan tanda tangan milik Iman Hud atas kasus ini. Dugaan pemalsuan tanda tangan itu terkait surat perintah penugasan atau surat perintah 123 nama personil fiktif Satpol PP Kota Makassar.

"Karena kami tidak mengajukan eksepsi maka kami mengajukan dua permohonan. Terkait permohonan untuk penangguhan pemanahan sekaligus permohonan untuk sidang offline. Alasannya karena jaringan selalu bermasalah, beberapa kasus tipikor sebelumnya, hal pokok yang disampaikan tidak tersampaikan secara jelas," sebutnya.

"Selain itu ada juga masalah krusial yang menurut hemat kami ada hal yang harus diliat (disampaikan) langsung oleh klien kami Pak Iman Hud, bahwa ada beberapa dugaan pemalsuan dan itu harus dipastikan langsung klien kami. Apakah ini palsu atau tidak, karena klien kami juga menduga ada pemalsuan dokumen, termasuk pemalsuan tanda tangannya," lanjut Goffur.

Kedepannya Goffur berharap, Hakim dan Jaksa bisa mengungkap siapa-siapa saja yang ikut menikmati uang dari honorarium fiktif tersebut yang nilainya mencapai Rp4,8 miliar. Di mana diketahui, dalam kasus ini telah ada pengembalian uang kerugian negara sebesar Rp3,7 miliar kepada penyidik Kejati Sulsel dari 27 orang camat yang bertugas pada periode tersebut.

Jika menyelisik kasus ini, Goffur menyebut Dinas Satpol PP Makassar bukan sebagai pengguna anggaran yang diduga dikorupsi itu melainkan pada kecamatan masing-masing, atau di 14 Kecamatan yang disebutkan.

"Inikan terkait siapa yang menjadi kuasa pengguna anggaran, karena kuasa pengguna anggaran ini bukan di Satpol PP tapi di Kecamatan. Jadi soal honorarium ini tidak berasal dari dinas (Satpol PP) tapi DPA dari kecamatan, jadi silahkan teman-teman nilai sendiri," ujarnya.

Seharusnya kata Goffur, sejumlah orang yang telah mengembalikan uang kerugian negara dalam kasus ini ikut menjadi tersangka sebab dalam Pasal 4 Undang-undang Tipikor menyebutkan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya. "Proses pengembalian itukan tidak menghapuskan pidana," pungkasnya. (isak/B)

  • Bagikan