Selain itu, seismolog dari Imperial College London, Stephen Hicks mengungkapkan, gempa M 7,8 ini memiliki kekuatan yang sama dengan gempa di Turki pada Desember 1939 yang menewaskan sekitar 30 ribu orang.
Menurut Hicks, Turki pada dasarnya merupakan sarang aktivitas seismik karena berada di dua patahan besar di Lempeng Anatolia.
Patahan tersebut adalah Patahan Anatolia Utara (Northern Anatolian Fault/NAF) yang melintasi Turki dari barat ke timur; dan Patahan Anatolia Timur (East Anatolian Fault/EAF)yang ada di wilayah tenggara negara itu.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono juga mengungkapkan, ada lima penyebab gempa Turki sangat destruktif.
"Mengapa gempa Turki sgt destruktif?: (1) Magnitudo besar 7,8 (2) Gempa kerak dangkal (3) Terdiri 3 gempa besar 7,8 6,7 & 7,5 (4) Waktu gempa pagi hari pkl 4 bnyk warga dirumah, masih tidur (4) Pusat gempa di kelilingi 4 kota besar: Gaziantep, Kahramanmaras, Pazarcik, & Nurdagi," tulis Daryono lewat akun Twitternya.
Daryono juga membantah HAARP menjadi dalang gempa tersebut. "Adalah angan angan kosong, mengkait-kaitkan gempa dengan HAARP," tulisnya.
Dikutip darisitus resminya, HAARP atau High-frequency Active Auroral Research Program sebetulnya adalah program penelitian ionosfer yang didanai oleh militer AS, pemerintah, dan Universitas Alaska.
HAARP sendiri disebut sebagai "transmiter bertenaga tinggi dan frekuensi tinggi yang paling mampu untuk mempelajari ionosfer". Dengan menggunakan HAARP, para ilmuwan mendapat pengertian yang lebih baik tentang proses yang terus terjadi di bawah simulasi alami Matahari.
Upaya Politisasi
Di sisi lain, Yevgeniya Gaber menilai pendapat yang menyebut gempa Turki hasil rekayasa manusia berbau politis. Ia pun menyerukan hal tersebut untuk ditanggapi secara serius.
"Ada peningkatan unggahan di media sosial berisikan teori konspirasi soal kemungkinan gempa dibuat oleh manusia yang bertujuan untuk memperlemah Turki usai peningkatan tensi dengan sekutu Baratnya. Upaya-upaya untuk memengaruhi persepsi publik seperti ini soal tragedi gempa tersebut harus ditanggapi secara serius," kata Gaber yang merupakan pakar dari Center in Modern Turkish Studies, Carleton University.
Gaber mengatakan, ada peluang untuk mempolitisasi gempa tersebut baik secara internal dan eksternal.
Pasalnya, hanya beberapa jam setelah gempa terjadi, kanal Telegram Rusia mempublikasikan pesan yang menyerukan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan untuk memperbarui pembicaraan dengan Presiden Suriah, Bashar Al-Assad.
Kanal tersebut mengklaim, ini adalah saat yang bagus untuk mengkoordinasikan respon Turki, Suriah, dan Rusia. Setelah kanal itu muncul, terungkap pula adanya pembicaraan lewat telpon antara Erdogan dan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
"Dengan banyaknya peristiwa di wilayah ini, penting untuk memastikan bahwa harga nyawa manusia tidak turun dan kematian banyak orang tidak hanya sebatas statistik," kata Gaber yang juga penasihat kebijakan luar negeri untuk perdana menteri Ukraina.