JAKARTA, RAKYATSULSEL - Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Nindyo Pramono menyatakan pembentukan Perppu Cipta Kerja tidak bisa dilepaskan dari adanya kegentingan.
“Perppu Cipta Kerja tidak lepas dari landasan yuridis karena adanya keadaan kegentingan memaksa. Memang Presiden mempunyai kewenangan menerbitkan Perppu jika ada keadaan kegentingan memaksa. Beberapa parameternya adalah situasi krisis, adanya kepentingan mendesak kebutuhan perundang-undangan yang memang kosong sehingga mengisi kekosongan itu, kemudian terkait adanya krisis global yang berpengaruh pada krisis nasional.” katanya dalam sebuah wawancara di Stasiun Televisi, Kamis (9/2).
Lebih lanjut, menurutnya bahwa krisis global sendiri sudah mulai berpengaruh pada ekonomi nasional, dan pemerintah tidak ingin kondisi beberapa tahun silam kembali terulang.
“Dampak dari stagflasi atau krisis global sudah berpengaruh pada perekonomian kita, pemerintah tidak ingin kembali ke situasi lama, yakni terjadi krisis dulu baru membuat UU. Jadi kita mengantisipasi hal itu,” jelas Prof Nindyo.
Menjawab tudingan bahwa seolah-olah penerbitan Perppu Cipta Kerja ini dilakukan dengan terburu-buru, dirinya dengan tegas menepis hal tersebut.
Justru menurut Guru Besar Hukum Bisnis UGM itu bahwa tatkala pemerintah melakukan penerbitan perundang-undangan menggunakan metode konvensional akan memakan waktu sangat lama sehingga tidak kunjung mampu mengatasi ancaman global.
“Menurut saya bukan buru-buru, karena justru dampak dari stagflasi global yang sudah nampak di mata kita, pemerintah mengantisipasi hal itu,” jelasnya.
Prof. Nindyo Pramono juga menjelaskan bagaimana manfaat dari adanya UU Cipta Kerja yang menurutnya sangat membuat iklim investasi di Tanah Air menjadi positif.
“Dari data IMF, World Bank, dan Indonesian Economic Prospect menunjukkan bahwa hadirnya UU Ciptaker memang memberikan iklim positif terhadap arus investasi, khususnya foreign direct investment. Contoh konkret beberapa di manufaktur sudah mengalami peningkatan. Namun kalau diukur apakah sudah berhasil atau belum, menurut saya tidak fair karena baru berjalan 2 tahun lalu diukur. Tapi dampak positif dari kebijakan itu kelihatan,” terangnya.
Namun sayangnya, UU Ciptaker telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK, sehingga terganjal adanya alasan prosedural saja meski sebenarnya secara substansi tidak ada permasalahan di dalamnya.
“Pemerintah melakukan perbaikan dimulai dari perbaikan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimasukkanlah metode Omnibus Law, begitu dimasukkan juga sudah di Judisial Review dan keluarlah UU No. 13/2022 juga dilakukan Judisial Review. Jadi kalau pemerintah melakukan sosialisasi bahwa kepentingan UU Ciptaker berpihak kepada UMKM dan Koperasi supaya terangkat derajatnya namun terganggu dengan pendekatan formalistik prosedural,” ungkap Prof Nindyo.
Prof Nindyo pun mengimbau kepada masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada Perppu Ciptaker agar dapat diimplementasikan. Hal ini diperlukan agar hasil dari regulasi tersebut dapat dievaluasi secara proporsional. (*)