A Sakti Rakia Raih Gelar Doktor Hukum Tata Negara

  • Bagikan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong, A. Sakti R.S. Rakia berhasil meraih gelar Doktor di bidang Hukum Tata Negara pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI), Selasa (21/2/2023). Foto: ABU HAMZAH/RAKYATSULSEL.

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong, A. Sakti R.S. Rakia berhasil meraih gelar Doktor di bidang Hukum Tata Negara pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI), Selasa (21/2/2023).

Gelar tersebut berhasil diraih setelah mempertahakan disertasi yang berjudul "Reformulasi Peraturan Pemerintah pengganti undang undang (Perpu) berdasarkan Ketatanegaraan Indonesia".

Menurutnya, latar belakang disertasi mengenai Perpu itu berangkat dari keresahan melihat fenomena Perpu sejak proses penyusunan naskah Perpu hingga proses persetujuan/penolakan peraturan. Terlebih lagi, dalam proses tersebut lembaga DPR cenderung pasif, serta kurangnya ruang bagi partisipasi masyarakat.

"Idealnya, tujuan dari pembentukan Perpu mengarah pada semangat untuk mengatasi permasalahan di pemerintahan, khususnya dalam rangka memberi kemanfaatan bagi masyarakat. Perpu adalah jenis peraturan yang sederajat dengan Undang-Undang, yang dengan demikian, konsentrasi DPR terhadap proses persetujuan/penolakan Perpu harus sebanding konsentrasi pada pembentukan Undang-Undang" tukasnya, Selasa (21/2/2023).

Lebih lanjut, dalam proses pembentukan Perpu, kurangnya informasi yang diperoleh masyarakat dalam mengakses pembentukan Perpu, menyebabkan timbulnya kontroversi materi muatan Perpu. Misalnya, Perpu Nomor 2 Tahun 2022 yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan inkonstitusinal bersyarat, namun kembali ditetapkan pemerintah yang memuat materi yang secara mutatis mutandis mengikuti undang-undang cipta kerja.

"Jika membicarakan Perpu, idealnya materi muatan yang disusun adalah materi-materi baru, dan bukan materi yang lama. Perpu bukanlah instrument hukum yang digunakan untuk "membangkitkan" norma yang telah dinyatakan inkonstutusional ke dalam wadah hukum baru dengan bersandar pada kekuasaan kelembagaan. Pembentukan aturan hukum sepihak oleh pemerintah secara subyektif memang bukanlah barang haram. Akan tetapi jika demikian, maka lebih tepat menyebut aturan tersebut sebagai dekrit ketimbang Perpu. Sayangnya dekrit tidak memiliki pijakan konstitusional pasca amandemen UUD NRI 1945. Oleh sebab itu, masalah ini dalam bayangan saya menarik untuk diangkat sebagai judul disertai untuk melihat hakikat dari Perpu," ucapnya.

Ia menuturkan, ideal dari pembentukan Perpu dibentuk dalam keadaan transparan. "Lembaga DPR sebagai representasi rakyat dalam proses persetujuan/penolakan Perpu seyogyanya tidak boleh pasif, seakan hanya menerima "mandat blangko" terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini penting karena masyarakat pada umumnya memiliki sedikit akses dalam proses-proses tersebut. Perpu adalah peraturan yang setingkat dengan Undang-Undang, dan olehnya itu, kemungkinan agar transparansi proses persetujuan/penolakan terhadap Perpu dapat dilakukan," terangnya.

Promovendus juga membeberkan, proses pengumpulan bahan hukum untuk penyusunan disertasinya merupakan tantangan tersendiri. Selain karena keterbatasan buku yang secara khusus membahas Hakikat Perpu. Penelitian tersebut juga ditunjang oleh informasi yang diperoleh dari beberapa lembaga negara yang bersentuhan dengan pembentukan Perpu.

Ke depannya naskah disertasi ini oleh Dr. Sakti rencananya akan disesuaikan dengan standar penulisan buku, dan akan diterbitkan menjadi buku kelima sepanjang karir akademiknya yang dimulai sejak tahun 2018. (abu/B)

  • Bagikan