MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kasus rudapaksa (pelecehan seksual) terhadap anak dibawah umur di Sulawesi Selatan cukup memprihatinkan.
Berdasarkan infomasi yang dihimpun, sejak dua bulan terakhir (Januari dan Februari 2023), tercatat sejumlah kasus rudapaksa. Seperti di Makassar, seorang anak berusia 14 tahun menjadi korban rudapaksa.
Kemudian, seorang siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Maros. Ia menjadi korban rudapaksa yang dilakukan tiga orang pria.
Selanjutnya, kasus kekerasan seksual atau rudapaksa siswi sekolah swasta Madrasah Tsanawiyah (MTs) Tana Toraja yang dilakukan oleh kepala sekolah.
Terbaru, kasus rudapaksa siswi Madrasah berinisial J (14) di Kabupaten Bone. Korban bahkan meninggal dunia karena tak kuat menahan sakit pada bagian tubuhnya akibat dirudapaksa oleh pelaku yang diduga lebih dari empat orang itu.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DP3A-DALDUK KB Sulsel, Meisy Papayungan mengatakan, kasus rudapaksa ini harus menjadi perhatian semua lapisan masyarakat.
Kata dia, untuk melakukan kontrol terhdap kasus ini salah satunya dapat dilakukan melalui pembentukan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
"Hanya saja tidak semua desa bikin, padahal ini dapat menjadi motor untuk membantu para korban rudapaksa untuk mendapatkan akses ke pemetintah dan diberikan pendampingan hukum," ujarnya, Rabu (1/3/2023).
"Sehingga pemerintah mampu menjangkau semua kasus rudapaksa," lanjutnya.
Menurutnya, pembentukan PATBM ini pihaknya siap melakukan pelatihan jika masing-masing desa mendirikannya.
"PATBM ini, anggotanya bisa terdiri dari berbagai latar belakang pekerjaan, untuk mengawal dan mengawasi perilaku pelecehan. Kami siap memberikan pelatihan sekaitan dengan pendamingan terhadap kasus kasus yang melibatkan anak," tegasnya.
Ia berharap, kontrol sosial (pencegahan dan pendampingan korban pelecehan) masyarakat dapat membantu pemerintah melalui forum forum masyarakat seperti pembentukan PATBM.
Sementara itu, Psikolog Universitas Hasanuddin (Unhas), Ichlas Afandi mengungkapkan, dampak psikologi yang dialami oleh para korban rudapaksa itu tidak serta merta dapat normal seperti sediakala.
Pasalnya, stigma masyarakat terhadap korban rudapaksa acapkali memarjinalkan korban dari sisi penerimaan lingkungan sosial.
Dia menerangkan, korban rudapaksa sebagian besar tak ingin speakup terhadap kejadian yang dialaminya karena stigma masyarakat yang sangat kuat menghantui, apalagi kalau para korban itu masih tergolong remaja maupun gadis yang tentu rasa malu dan takut menjadi pertimbangan mereka.
"Ketakutan korban itu, diasingkan oleh masyrakat, apalagi bagi perempuan yang belum menikah, hanya laki-laki 'malaikat' yang mampu menerima mereka itu stigma yang terjadi di masyarakat," tukasnya, Rabu (1/3/2023).
Tak sedikit korban rudapaksa terang Ichlas Afandi mengalami depresi bahkan bunuh diri sebagai bentuk ekpspresi marah karena sesuatu yang berharga dari seorang perempuan itu direnggut. "Karena itu tadi stigma masyarakat terhadap korban rudapaksa, padahal kejadian itu bukan atas kehendak mereka," pungkasnya. (abu/B)