Idham membenarkan hal itu, bahwa hal di atas sudah sesuai dengan undang-undang Pemilu. Hanya saja, Partai Prima sudah menempuh kedua jalur tersebut.
"Jadi partai yang bersangkutan telah melalui beberapa proses sengketa pemilu, baik di Bawaslu maupun di PTUN," katanya.
Meski demikian, kata Idham, PN Jakpus tidak dapat menangani persoalan administrasi kepemiluan karena bagian administrasi negara dan undang undang Pemilu sudah diatasu sampai PTUN.
"Yang jelas ini tidak diatur di undang undang pemilu. Dalam aturan tersebut menegaskan bahwa ujung sengketa proses pemilu ada di PTUN," tegas Idham.
Anggota Komisi III DPR, Supriansa mengemukakan, putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu merusak tatanan demokrasi Indonesia.
Pasalnya, kata Supriansa, putusan tersebut melanggar ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Pasal 7 UUD NRI 1945 berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Lalu Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.”
“Pada kedua pasal tersebut tegas membatasi kekuasaan eksekutif dan legislatif selama lima tahun dan mengamanatkan bahwa pemilu diselenggarakan dalam waktu lima tahun sekali. Hal ini adalah perintah konstitusi sehingga putusan pengadilan jelas tidak bisa dilaksanakan,” kata Supriansa dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/3/2023).
Sebelumnya, pada Kamis (2/3/2023) PN Jakpus dalam putusannya, memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu 2024. Perintah ini berawal dari gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap KPU. Dilihat dari putusan No 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, gugatan ini dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022.