“UU Pemilu mengenal pemilu susulan tetapi tidak ada klausul bahwa tahapan bisa ditunda karena adanya putusan PN, apalagi PN juga tidak berwenang apapun
dalam desain penegakan dan penyelesaian masalah hukum pemilu di Indonesia,” pungkasnya.
Pengamat Politik Universitas Bosowa (Unibos) Kota Makassar, Arief Wicaksono berpandangan, penundaan pemilu dari hasil keputusan PN Jakpus terhadap gugatan perdata Partai Prima itu memang perlu ditolak.
"Karena semua pihak sudah mengetahui jika proses rekrutmen penyelenggara sudah di mulai di KPU sebulan yang lalu," katanya.
Lanjut dia, menariknya adalah proses hukum tersebut langsung dijawab oleh KPU dengan mengajukan banding.
"Pertanyaannya, apakah jika KPU banding, jadwal pemilu akan kembali on the track seperti desain yang disepakati bersama ?" tanya Arief.
Sedangkan, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid mengaskan, putusan PN Jakpus tidak dapat dieksekusi.
Pasalnya, sangat penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu, berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini.
"Di mana berdasarkan bangunan hukum penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu, telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi 2 (dua) jenis, yaitu Pelanggaran dan Sengketa," katanya.
Dijelaskan Fahri, pelanggaran di dalam UU Pemilu sendiri terbagi menjadi tiga jenis, yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik dan pelanggaran pidana.
"Sedangkan untuk Sengketa terbagi menjadi dua, yakni sengketa proses dan sengketa hasil," pungkasnya.
Wapres Ma'ruf: Belum Memperoleh Legitimasi
Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyatakan hal tersebut menyikapi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam gugatan perdata yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).