Laksus: Puluhan Owner Kosmetik di Sulsel Bisa Dijerat Kejahatan Perpajakan

  • Bagikan
Direktur Lembaga Antikorupsi Sulawesi Selatan (Laksus), Muhammad Ansar

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Lembaga Antikorupsi Sulsel (Laksus) meminta Dirjen Pajak menelusuri laporan perpajakan puluhan owner kosmetik Makassar yang gemar flexing atau mengumbar barang barang mewah di media sosial. Para owner itu bisa dijerat tindak pidana kejahatan perpajakan.

"Saya menduga ada masalah pada laporan perpajakan mereka. Coba kita kalkulasi, barang barang mewah yang mereka pamer itu nilainya fantastis. Artinya mereka punya pendapatan besar. Pertanyaannya, bagaimana ketaatan mereka membayar pajak. Sudahkah mereka penuhi?" ujar Direktur Laksus Muhammad Ansar, Sabtu (1/4).

Menurut Ansar, jika kewajiban pajak mereka tak ditunaikan dengan layak, di sinilah implikasi hukumnya. Kata Ansar, para penggemar flexing ini bisa dijerat kejahatan pidana perpajakan.

"Itu yang harusnya dikejar Dirjen Pajak. Sebab nilainya luar biasa besar. Kami menduga, mereka selama ini belum tersentuh kewajiban pajak. Mereka memang sengaja menghindari pajak dengan cara tidak melengkapi usaha mereka dengan badan hukum," tandas Ansar.

Kemungkinan lain kata Ansar, para owner kosmetik melakukan pemalsuan data dengan cara mengecilkan jumlah pendapatan pada SPT mereka. Sehingga yang mereka bayar tak sebanding dengan barang barang mewah yang kerap mereka umbar ke publik.

"Dalam UU jelas bahwa setiap orang yang
dengan sengaja tidak menyetorkan pajak  sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara bisa dipidana. Atau bisa dengan penyanderaan atau gijzeling. Tindakan gijzeling merupakan langkah terakhir dari tindakan hukum
yang dapat dilakukan pemerintah kepada wajib pajak nakal. Gijzeling dilaksanakan apabila wajib pajak benar-benar sudah membandel," papar Ansar.

Berdasarkan aturan yang ada, negara berhak melakukan gijzeling atau penyanderaan berupa penyitaan atas badan orang yang berutang pajak. Selain itu, bisa juga melakukan suatu
penyitaan, tetapi bukan langsung atas kekayaan, melainkan secara tidak langsung, yaitu diri orang yang berutang pajak. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang mengatur penagihan utang pajak kepada wajib pajak melalui upaya penegakan hukum.

Laksus dalam hasil penelusurannya  menemukan bahwa DJP mencatat tingkat kepatuhan formal pajak sebesar 76,86%, di mana rasio tersebut meningkat dari tahun 2019 yang sebesar 72,9%. DJP menerima 14,6 juta SPT dari yang seharusnya ada 19 juta wajib pajak yang menyampaikan SPT, baik dari wajib pajak orang pribadi maupun badan.

  • Bagikan