Tetapi bagaimana keterwakilan perempuan mampu menjadi solusi & berkontribusi bagi tata kelola pemerintahan yg masih patriarkal menjadi lebih inklusif, kredibel, dan profesional. Kita juga harus percaya bersama bahwa, ada banyak figur perempuan yg memiliki wawasan tentang kepemiluan & catatan-catatan integritas yg tidak diragukan lagi.
Selama ini kita masih memaknai amanat Undang-undang itu bias, misal dari redaksi frasa yg digunakan “memperhatikan”.
"Masih memperhatikan bukan berarti boleh ada boleh tidak. Kalau kurang pun tidak ada masalah". Jangan sampai ini menjadi kedok perlindungan untuk tidak mengharuskan ada keterwakilan perempuan.
Seyogianya, hal tersebut benar-benar dibutuhkan. Konsepsi seperti ini yg mestinya diubah sebab dalam berelasi sosial, ketika kita memperhatikan sesuatu berarti kita siap memberi atensi & komitmen yang lebih terhadap sesuatu itu. Artinya kita perlu memprioritaskan, sebab 30 persen itu sudah menjadi keniscayaan yang mesti dipenuhi, lebih pun boleh namun jika itu kurang semestinya tidak bisa.
Sudah selayaknya, semua stakeholder dari institusi mewujudkan keterwakilan perempuan dengan bersama-sama satu pahaman bahwa frasa memperhatikan itu berarti wajib hukumnya mengutamakan keterwakilan perempuan, mengisi komposisi penyelenggara pemilu. Dengan demikian, jika ada 7 anggota kpu ataupun bawaslu mestinya paling sedikit ada 2/3 perempuan didalamnya.
Untuk mewujudkan ini, kita semua perlu mendorong ketegasan timsel dalam pelaksanaan tahapan rekrutmen penyelenggara pemilu , baik kpu maupun bawaslu.
Akhir dari tulisan saya ini, Saya sedikit ingin membangun sebuah asumsi sederhana bahwa seharusnya dalam berbagai kebijakan itu diramu dan dibangun dari jiwa Maskulinitas laki-laki dan keteduhan jiwa feminisme perempuan, agar kelak kebijakan itu bisa sesuai namanya yakni bijaksana dalam artian terbangun dari kesetaraan dan tanpa membeda-bedakan yang lain.
Selain butir aturan yang menegaskan keterlibatan perempuan, Islam dalam perjalanannya telah menyampaikan isyarat tentang kesamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Baca: Surah Al Hujurat/13).
Dalam berbagai ruang pekerjaan seharusnya setiap orang memilki ruang wicara yang sama sebab, ruang publik adalah ruang bersama yang setiap orang memiliki jarak akses yang sama. Jadi tidak seharusnya berbagai kelompok tertentu disudutkan serta didiskreditkan dengan berbagai asumsi liar yang tidak bertanggung jawab.
Tentu harapan penulis, demi tegaknya amanat UU. Sekarang ini, tengah berlangsun rekrutmen Anggota KPU di seluruh Kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan terkhusus di Kabupaten Takalar , semoga tidak lagi meniadakan keterwakilan perempuan apalagi tersinyalir jelas bahwa informasi pendaftar perempuan cukup meludak yang juga diketahui mereka semua adalah putri terbaik yang dimiliki butta panrannuangta.
Dengan terakreditasnya Korps HMI-Wati Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Kohati PB HMI) sebagai Pemantau Pemilu Oleh Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia dengan nomor sertifikat (12/PM.05/K1/8/2022), kami Korps Hmi-Wati Cabang Takalar merekomendasikan & mengatensi setinggi-tingginya agar timsel lebih tegas menegakkan amanat UU berkenaan dengan keterwakilan 30 persen perempuan dalam tahapan perekrutan anggota KPU-Bawaslu kedepannya. (*)