Kemudahan Dokter Asing. Dimana pada draft RUU Omnibuslaw Kesehatan pada pasal 234 ayat 4, memberikan peluang bagi Warga Negara Asing untuk berpraktek di Indonesia.
Tanpa ada kontrol dari institusi yang melakukan pengawasan dan kontrol dari organisasi profesi dan kolegium. Hal ini berimbas pada kemungkinan masuknya dokter yang komptensinya meragukan, bahkan mungkin bisa abal abal. Kondisi ini bisa membahayakan masyarakat kita.
"Kekhawatiran kami didasari pada beberapa kasus yang ditemukan oleh kolegium spesialis , ada oknum yang hanya melaksanakan kursus di luar negeri tetapi kemudian ingin disahkan sebagai spesialis," terangnya.
Dalam draft RUU Omnibuslaw Kesehatan tersebut tidak lagi tertulis/eksplisit nama PDGI dalam batang tubuh RUU, namun hanya terdapat pada penjelasan RUU.
Hal ini dikhawatirkan berpotensi berdirinya organisasi sempalan yang akan memecah belah organisasi. Padahal sejatinya organisasi profesi tidak dapat terbagi pada beberapa organisasi, sebab bisa menimbulkan tafsir berbeda terhadap standar kompetensi dan kode etik dari dokter maupun dokter gigi.
Pelaksanaan Pendidikan Dokter gigi dan dokter gigi spesialis pada Rumah Sakit (Hospital Base). Pemikiran tentang pendidikan dokter/ dokter gigi dan spesialis yang berbasis pada rumah sakit sebagaimana yang terdapat pada pasal 180, tidak bisa menjawab persoalan kekurangan dokter, sebab kekurangan dokter maupun dokter gigi dipicu pada beberapa faktor :
"Serapan dokter gigi menjadi Aparatur Sipil Negara hanya 14 persen dari jumlah dokter gigi seluruh Indonesia. Ini menyebabkan dokter gigi swasta memiliki hak untuk memilih tempat berpraktek pada daerah yang telah dipilih," bebernya.