"Misalnya saya mau jadi calon Gubernur, saya harus kerja dulu untuk partai sehingga partai mendapat sejumlah kursi dan menunjukkan elektabilitas saya," ucap Firdaus.
Belum lagi kata dia dalam kontestasi politik mendatang akan ada sejumlah partai baru yang akan ikut berkompetisi. Meskipun partai baru tapi menurut Firdaus kader atau orang-orang partai tersebut adalah politisi tulen yang sudah berpengalaman.
Salah satu contoh adalah Partai Gelora, meskipun partainya terbilang baru tapi beberapa pengurusnya adalah mantan kader partai PKS yang juga diperhitungkan dalam kontestasi politik, seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah. Begitu juga kadernya di Sulse yang sudah lama bergelut di politik, yakni Syamsari Kitta.
"Partai baru tidak bisa diabaikan, dia bisa melalui proses panjang untuk bisa masuk menjadi anggota kontestan politik. Tapi juga buka ancaman serius, karena masih membagun investasi, tapi juga harus diketahui namanya partai baru tapi pemain lama, sebut saja partai Gelora, Anis Matta, Syamsari Kitta kader PKS dan mantan bupati Takalar. Di pusat juga ada Fahri Hamzah," sebutnya.
Apalagi, lanjut Firdaus, kararter pemilih itu tidak bisa diprediksi oleh siapa pun. Maka dari itu poitisi termasuk partai politik harus cakap dalam memainkan isu.
Dalam hal ini Firdaus menyebut ada hal yang menarik dan sudah dimainkan oleh politisi seperti pembatalan U-20 di Indonesia yang di balik itu ada pembicaraan politik, kemudian kemenangan PSM Makassar yang sebenarnya kmemangan semua masyarakat Makassar namun tidak dinafikkan juga ikut di politisasi.
"Begitu juga netisen yang tidak bisa diabaikan. Ini juga menjadi ancaman politik ke depan, partisipasi masyarakat dan sulitnya mengelola isu. Jadi pemilih nanti itu akan menyesuaikan kebutuhannya, jadi kalau partai baru ini bisa memaikan isu bisa mendapat suara," tutur Firdaus.
Namun di balik itu semua, Firdaus berharap politik dikembalikan sebagaimana fungsinya. Sejak zaman Nabi kata dia poitik sudah ada namun itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat.
"Contoilah politik nabi dimana politik digunakan sebagai jalan untuk mensejaterakan masyarakat, membela umat, tidak memperlat agama. Nabi menggunakan masjid untuk mebicarakan kemaslahtan umat, kebaikan-kebaikan, tidak memperalat agama, tapi politik untuk kebaikan," kata dia.
"Sekarang dilarang buka puasa bersama, Nabi menganjurkan buka puasa. Jadi paradoks-pradoks ini itu karena ada kesalahan-kesalahan dalam tata kelola, kita juga kalau pemerintah katakan ASN diilarang buka puasa aneh saja, tapi ketika dipahami alur pemerintah kita paham. Jadi kita mengharapkan politik jangan sampai jadi alat yang mereduksi nilai-nilai agama atau budaya, kita harus mengembalikan. sekali lagi politik adalah untuk kemaslahatan agama, masyarakat dan negara, bukan agama diperalat untuk tujuan politiknya, itulah yang mungkin harus direduksi," kuncinya. (Isak Pasabuan/B)